Postingan ini mungkin tidak wajar.
Mungkin juga tidak terduga atau sulit untuk diprediksi kemunculannya, kecuali bagi mereka yang telah mengenalku dengan dekat.
Setiap hari, berbagai kisah dan pengalaman baru terarsip dalam memoar semu para mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Apakah semua kisah tersebut akan diabadikan dalam bentuk tulisan? Mungkin tidak semuanya, tergantung pada sang empunya kisah. Tulisan mengenai kehidupan mahasiswa baru UGM pun sudah tak terhitung jumlahnya di dunia maya. Bagaimanapun, ribuan orang telah mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba blog ini. Akan membosankan jika aku turut menenggelamkan diri dan membiarkan tulisanku terseret arus yang telah terkonstruksi secara massal, di mana ribuan blog pribadi mahasiswa menceritakan berbagai kisah yang terjadi dalam rentang waktu bersamaan dengan alur dan kerangka karangan yang mirip pula.
Ini bukan sekadar postingan blog tentang apa yang aku alami pada minggu-minggu pertamaku sebagai mahasiswi baru di UGM.
Postingan ini aku dedikasikan kepada kelima makhluk virtual yang telah mendampingi dan menghiburku, baik dalam suka maupun duka, selama minggu-minggu pertamaku sebagai mahasiswi departemen Ilmu Komunikasi semester satu di UGM.
Pada postingan blog sebelumnya, aku menuliskan ulasan mengenai Mystic Messenger, sebuah permainan bergenre Storytelling Messenger yang dirilis oleh Cheritz Ltd., sebuah perusahaan pengembang permainan asal Korea Selatan pada 5 Juli 2016.[1] Pada postingan ini, aku bermaksud untuk menceritakan bagaimana permainan gratis ini dapat mengubah tatanan hidupku saat menjadi mahasiswi baru di UGM.
photo (c) 2016 – deana fahira
Kuliah di UGM merupakan pilihan yang aku buat secara spontan. Dapat dikatakan, presensi aku di Yogyakarta terjadi karena kekuatan takdir mampu membawaku keluar dari rencana yang sejak awal sudah dilingkupi dengan ketidakpastian. Konsekuensinya, untuk pertama kali dalam delapan belas tahun, aku hidup secara mandiri dan jauh dari rumah.
Beradaptasi dengan suasana lingkungan yang baru bukanlah hal mudah. Butuh waktu yang tak singkat untuk mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan kemahasiswaan, khususnya bagi aku yang tinggal di rantau. Semuanya berubah 180 derajat – mungkin lebih drastis dari itu. Teman-teman yang biasa kutemui setiap minggunya tidak lagi ada di sisiku dan sudah menempuh jalannya masing-masing. Tidak ada lagi orang tua yang menegur, membantu mengurus pekerjaan rumah, dan membelikan makanan. Semua tanggung jawab ada di tanganku sekarang. Aku harus mengurus kosan sendiri, bepergian sendiri, menjalin pertemanan dan mengenal orang-orang baru… poin terakhir ini bukan pekerjaan mudah untuk seorang introvert yang sudah sekian lama hidup di zona nyaman. Maka wajar bila di suatu titik dalam minggu-minggu pertamaku sebagai seorang mahasiswi, aku merasa pusing dengan semua perubahan ini. Takut. Homesick. Kesepian. Menyesalkah? Kadang-kadang. Tapi apa boleh buat, waktu tak dapat diputar kembali.
It’s a fresh new start – but there are consequences that I have to live with.
Dalam kesepian dan kekalutan itu, aku menemukan sesuatu yang mampu menjadi penyelamat hari-hari burukku.
Ketika sedang mengamati linimasa di media sosial Instagram, aku menjumpai beberapa postingan mengenai tokoh-tokoh dalam game Mystic Messenger. Saat itu aku tidak tahu siapa mereka dan di media apa aku bisa “mengenal” mereka lebih lanjut. Selidik demi selidik, ternyata mereka bukan berasal dari anime atau komik webtoon, melainkan game. Dilingkupi rasa penasaran, aku memutuskan untuk mendownload game tersebut di Play Store.
Menurut riset yang diadakan oleh University College in London pada 2014, terdapat korelasi antara bermain game dan perilaku mengatasi stres, di mana pemain game dapat merelaksasi pikiran dan mengatasi stres dengan lebih baik. [2] Aku rasa pernyataan ini benar, karena setelah memainkan game tersebut, suasana hatiku perlahan terimprovisasi dengan sendirinya. Seperti yang telah kusebutkan dalam ulasanku, game ini memiliki konsep permainan yang menyerupai messenger app. Artinya, aku dapat berinteraksi dengan tokoh game ini, begitu pula sebaliknya. Sejak aku memulai game ini, hari-hariku pun disemarakkan oleh pesan yang dikirim oleh tokoh game Mystic Messenger. Senang rasanya ketika aku mendapatkan notifikasi tentang grup chat baru, terutama jika tokoh favoritku sedang online juga. Di saat aku merasa kesepian, di mana interaksi di dunia nyata tidak banyak membantu mengubah suasana hatiku, kelima tokoh game ini mampu membuatku tertawa berkat postingan mereka di grup chat dan responnya yang tak kalah lucu. Durasi game yang menyesuaikan dengan jam di smartphone milikku membuat interaksi di antara kedua dunia ini terasa lebih nyata. Ketika waktu makan sudah tiba, game ini mampu mengingatkanku untuk segera makan melalui pesan-pesan dari tokohnya. Pesan yang cukup menyindir bagi seorang mahasiswi yang sering melewatkan waktu makan. Mungkin ini terkesan dramatis, tapi game ini membuatku merasa seolah-olah mendapatkan keluarga baru di rantau. Minggu-minggu pertamaku di Yogyakarta tidak lagi terkesan hampa.
Di lain hal, asumsi bahwa bermain game dapat memperburuk prestasi akademik seseorang tidak berlaku di sini. Secara tidak langsung, Mystic Messenger justru membantuku meningkatkan prestasi. Game ini menjadi inspirasi utamaku untuk berbagai tugas yang diberikan oleh dosen. Salah satu contohnya adalah ulasan Mystic Messenger yang aku tuliskan di postingan sebelumnya. Ulasan tersebut ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar-Dasar Penulisan, di mana mahasiswa diimbau untuk menuliskan ulasan mengenai sebuah game, film, atau buku. Selain itu, di mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi, aku mendapatkan materi mengenai komunikasi interpersonal. Belakangan, aku menyadari betapa pentingnya kemampuan berkomunikasi, khususnya secara interpersonal, dalam mempertahankan hubungan sosial yang sehat. Materi ini pun kupraktikkan dalam interaksi virtual yang aku lakukan di game tersebut.
Alur kehidupan seseorang terkadang sulit untuk diprediksi. Bahtera kehidupan dapat mengarung menuju peradaban baru yang penuh warna, atau tenggelam dalam palung tanpa dasar. Dalam kasus yang aku alami, sebuah permainan mampu menggiringku semakin dekat ke premis yang pertama.
Catatan Akhir
[1] Cheritz. Information | Mystic Messenger. Terarsip pada http://msg.cheritz.com/info. Diakses pada 5 November 2016 pukul 09:21 WIB.
[2] Emily Collins, Anna L. Cox. 2014. Switch on to Games: Can Digital Games Aid Post-Work Recovery. International Journal of Human-Computer Studies. Diunggah pada Agustus 2014. Terarsip pada http://dx.doi.org/10.1016/j.ijhcs.2013.12.006.
Referensi
Cheritz. Information | Mystic Messenger. Terarsip pada http://msg.cheritz.com/info. Diakses pada 5 November 2016 pukul 09:21 WIB.
Emily Collins, Anna L. Cox. 2014. Switch on to Games: Can Digital Games Aid Post-Work Recovery. International Journal of Human-Computer Studies. Diunggah pada Agustus 2014. Terarsip pada http://dx.doi.org/10.1016/j.ijhcs.2013.12.006.