Teman sekamarku seorang psikopat. Tenang, dia bukan penjahat. Berhadapan dengan darah saja dia takut, apalagi menganiaya manusia. Meskipun seorang psikopat seringkali direpresentasikan dalam film sebagai sosok antagonis bengis haus darah, bukan berarti semua psikopat pasti seperti itu. Di dunia nyata, mereka tampak seperti orang pada umumnya. Begitu juga dengan teman sekamarku ini. Selama menghuni kos bersamanya, hubungan kami baik-baik saja. Aku sama sekali tidak mencurigai bahwa dia adalah seorang psikopat.

Sampai kejadian pada Minggu siang itu.

Kala itu, kami mengunjungi sebuah festival kuliner yang diadakan di sebuah mal dekat kos kami. Sesuai dengan namanya, berbagai jenis kuliner dapat kami temukan di festival ini, mulai dari kuliner lokal hingga kuliner asal mancanegara. Hawa panas dan asap kelabu menerpa kami ketika melewati vendor sate kelinci. Di area minuman, aroma semerbak biji kopi yang tengah digiling berbaur dengan aroma tajam es durian. Suasana auditorium yang sarat dengan pengunjung tidak menyurutkan niat kami untuk berburu santapan lezat. Tak apa makan dan minum sambil berdiri, yang penting puas.

Temanku berhenti di depan vendor es kepal milo. Alasannya, dia ingin mencoba makanan penutup yang sedang viral tersebut. Dia menawarkan untuk memesan satu porsi untukku, tapi aku menolak karena sedang flu. Akhirnya, aku berjalan ke vendor di sebelahnya. Vendor ini menyediakan tteokbbokki, jajanan asal Korea Selatan. Aku memesan satu porsi, lengkap dengan ekstra sambal.

Beberapa saat kemudian, pesananku pun jadi. Setelah membayar pesanan, aku menjumpai temanku dengan semangkuk tteokbbokki di genggaman. Kami kembali berjalan bersama, menikmati jajanan masing-masing. Saat berjalan, temanku bercerita mengenai kelakuan bos magangnya yang menyebalkan.

Tiba-tiba, glek! Aku tersedak.

Aku pun terbatuk-batuk, mangkuk tteokbbokki di genggamanku nyaris terjatuh. Langkahku pun terhenti. Namun, temanku terus melangkah dan melanjutkan ceritanya, seolah ia tidak mendengarku. Dilanda panik, aku tergesa-gesa mengejarnya, menyerukan namanya sekeras mungkin. Dia berbalik dan menghampiriku.

“Abis nyasar? Makanya, jalannya cepetan, dong!” sahutnya diiringi oleh tawa kecil.

Aku menunjuk-nunjuk leher, berharap dia paham maksudku.

“Kamu haus?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala, lalu berpura-pura mencekik diri sendiri. Masak dia gak peka? Sementara itu, tubuhku terasa semakin lemas. Aku mulai menangis. Help me, please!

Temanku justru tertawa terbahak-bahak. “Ya ampun, haus banget? Bilang, dong!” ujar temanku sebelum menengadahkan tangannya. “Mana duitmu, sini kubeliin!” lanjutnya, masih cekikikan.

Saat itu, aku berpikir… apakah ini akhir hidupku? Kalau benar, maka ini akhir yang lebih tragis dari ending film Avengers: Infinity War. Aku ditelantarkan oleh teman sendiri karena miskom dan ketidakpekaannya terhadap musibah. Rasanya seperti berada di sebuah film bersubgenre black comedy, yang hanya lucu jika audiens mampu menertawakan penderitaan karakternya.

Putus asa, aku melangkah mundur dan tanpa sengaja menabrak seseorang di belakangku.

“Astagfirullah!” ucap orang yang baru saja kutabrak. Suaranya terdengar berat, sepertinya dia lelaki.

Aku berbalik, bermaksud untuk meminta maaf. Seandainya tenggorokanku tidak tercekat, mungkin aku sudah melakukannya.

Lelaki itu rupanya jauh lebih peka dibandingkan temanku. Melihat aku memegang leher dengan wajah yang pucat pasi, dia langsung berinisiatif menolong. Dengan sigap, dia menepuk-nepuk punggungku hingga aku memuntahkan makanan yang membuat aku tersedak. Setelah menenangkan diri, aku berterima kasih kepadanya. Temanku juga turut berterima kasih, entah apa alasannya. Kemudian, kami berdua berjalan meninggalkan lelaki itu.

“Kamu kenapa gak nolongin aku tadi? Aku keselek, tahu!” sahutku dengan kesal.

“Ya maaf… tadi itu lucu banget, sumpah. Aku pikir kamu haus, kan kamu emang tukang drama!” lanjutnya diikuti dengan tawa. Lagi.

Aku memasang wajah poker face dan mengaduk-aduk isi mangkuk tteokbbokki yang entah mengapa tidak lagi menggugah selera.

Pikiranku seketika melayang ke momen-momen ketika tinggal sekamar dengan temanku. Ketika dia berkali-kali lupa menyiram tanaman di dekat jendela. Ketika dia memintaku untuk menjepret cicak dengan karet gelang karena suara decakan yang mengusik konsentrasi belajarnya. Ketika dia sama sekali tidak menghiburku setelah aku diputuskan pacar, maupun setelah kami menonton film yang berakhir tragis.

Hanya satu kata yang terlintas dalam pikiranku setelah itu, diikuti oleh satu kalimat.

Anjir.

(Baca kembali kalimat pertama cerita ini.)

 

 

#Challenge30HariSAPE_Hari17