Helena berlari secepat kilat, mengabaikan penjual es krim keliling yang menghardiknya karena nyaris bertabrakan di tikungan jalan. Sesampainya di persimpangan, perempuan berkuncir kuda itu berhenti sejenak, memastikan jalanan aman untuk dilintasi sebelum menyeberanginya. Akhirnya, Helena tiba di lapangan tempat Vincent dan dirinya menghabiskan waktu luang setiap akhir pekan.
Helena berhenti di tengah lapangan dan memalingkan wajahnya dari terik matahari, napas terengah-engah seusai berlari selama sekian menit. Terletak 200 meter dari rumah Helena, lapangan tersebut dipenuhi oleh tumpukan barang bekas dan semak belukar. Hanya dua tiang di tengah lapangan yang mengindikasikan bahwa tempat itu dulunya merupakan lapangan tenis.
“Helena!”
Helena berbalik, mencari sumber sahutan tersebut. Di atas bangku di tepi lapangan, Vincent duduk sambil memegang ponselnya.
“Lima belas menit,” ujar lelaki itu dalam bahasa Inggris sembari menunjukkan stopwatch di layar ponselnya. “Kamu telat lima belas menit!”
“Seriusan? Pakai stopwatch supaya bisa mengukur seberapa lama aku telat?” Helena menghampiri Vincent dengan wajah bersungut-sungut. “Ya Tuhan… Kamu ini penjaga pintu sekolah atau pacar aku, sih?”
Vincent menyengir tanpa rasa bersalah. “Kan kita udah janjian kalau ada yang telat lebih dari 5 menit, dia harus membelikan es krim McFlurry¹ untuk yang on time setelah pertandingan.”
“Kampret,” sahut Helena, kali ini dalam bahasa ibunya. Vincent hanya tersenyum, sudah tinggal di sini cukup lama untuk tahu arti umpatan tersebut.
“Oke, nanti aku beliin. Tapi cuma kalau aku kalah,” Helena menendang tas raket Vincent, diikuti protes dari si pemilik tas. “Sekarang, mana raket yang baru kamu beli itu? Pinjam, dong.”
Helena meraba-raba permukaan kukunya yang dicat merah. “Itu pertemuan dan pertandingan terakhir gue sama Vincent.”
“Lalu siapa yang menang? Di pertandingan itu, maksud gue,” ujar Angga seraya merapikan helai kemerahan di depan keningnya.
“Emang itu penting? Well…” Helena melanjutkan ceritanya.
“Ah!” Vincent terjatuh sembari menangkis serangan dari Helena.
Memanfaatkan keruntuhan pertahanan lawannya, Helena mengembalikan shuttlecock dengan cekatan. Namun, serangannya masih bisa ditangkis oleh Vincent yang telah bangkit, mengejutkannya untuk beberapa saat. Tak ingin terkalahkan, Helena kembali memusatkan perhatian ke arah shuttlecock. Di saat yang tepat, dia pun melakukan pukulan tipuan, mengelabui Vincent yang hanya bisa melongo saat shuttlecock melintasi sisi kirinya hingga berhenti tak jauh dari garis tepi lapangan.
“Aku menang! Woohoo!” teriak Helena sambil mengangkat raketnya, sebelum menghampiri Vincent yang berada di sisi lain lapangan. “Sekarang, berlututlah.”
“Apa?” Vincent mengelap keringat dengan ujung kausnya, memperlihatkan otot perutnya yang terdefinisi.
“Berlututlah kepada ratumu,” Helena menggenggam raket selayaknya tongkat komando. Beberapa helai rambutnya beterbangan diterpa angin. “Ya ampun, jangan bilang kamu gak ngerti kalau itu kutipan film. Hmmm… Something is rotten in the state of Denmark, kalau mengutip Shakespeare.”
“Hey! Tunggu, aku ngerti maksudmu… Thor: Ragnarok, kan?”
Helena menjawab dengan senyuman dan bunyi “ehem”.
Vincent pun membalasnya dengan kekehan pelan. “Oke, kamu menang hari ini. Pukulan terakhirmu tadi keren banget, jadi…” dia berlutut di hadapan perempuan itu, raketnya dibiarkan tergeletak di tanah. “Apa yang bisa kulakukan untukmu, Yang Mulia? Wow, ternyata begini rasanya jadi orang pendek. Kalau ada orang yang lihat kita, kelihatannya seperti pacar yang sedang melam-“
Helena mengecup kening lelaki itu. Kedua mata Vincent membelalak saat bibir lawan mainnya itu berjumpa dengan keningnya. Dua detik berlalu, Helena melepaskan kecupannya seraya menatap iris biru Vincent. “Omong-omong… kamu bau keringet, ew.”
Terlepas dari syok, Vincent sama sekali tak mengantisipasi komentar aneh kekasihnya itu. “Kalau begitu, kenapa kamu cium aku pas lagi keringetan? Gak sayang sama lipstikmu?”
“Lipstikku tahan keringat, kok!” Helena mengecup punggung tangannya, lalu menunjukkannya pada Vincent. Tak ada noda sedikitpun di tangannya. “Aman buat ciuman. Lagipula, aku lebih sayang kamu daripada lipstikku.”
“Oh ya? Apa kamu berani bilang gitu kalau lipstikmu MAC²?”
Helena merengut. “Oke, kali ini kamu benar.”
Vincent tertawa seraya bangkit dari tempatnya berlutut. Kemudian, dia membalas kecupan Helena dengan merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya.
Helena sedikit terkejut. Kekasihnya ini biasanya tak suka berpelukan di luar ruangan.
“Matahari sudah akan terbenam,” ucap Vincent seraya memandang langit yang mulai menunjukkan rona warna senja. “Waktunya pulang… dan gak ada McFlurry buatku.”
“Selama kamu datang cepat dan belum bisa membalas kekalahan, selama itu juga kamu puasa McFlurry,” Helena menarik kalung berliontin Mjolnir³ yang dikenakan kekasihnya, lalu mengecupnya. “Seandainya momen ini bisa berlangsung selamanya.”
Vincent membelai rambut hitam kekasihnya yang tampak kecoklatan bila terpancar sinar matahari. Mereka tetap berdiri selama beberapa saat sebelum Vincent melepaskan pelukannya, kemudian mengambil raketnya dari tanah dan berjalan ke tepi lapangan. “Sampai ketemu besok, Yang Mulia!”
Helena melemparkan raketnya ke Vincent, yang sukses menangkapnya sebelum memasukkannya ke dalam tas. “Kalahkan aku minggu depan, Stormbreaker!” ucapnya seraya melambaikan tangan.
“Biar gue tebak,” ujar Angga seraya mengusir nyamuk yang menghampirinya. “Gak ada minggu depan.”
Helena membunuh nyamuk di depan Angga dengan satu kali tepukan. “Sepulang dari pertandingan itu, gue langsung mandi dan ngerjain tugas. Gue lupa gak ngehubungin Vincent sampai tugas gue selesai. Setelah itu, gue chat dia. Dia gak baca dan gak bales pesan gue. Di situ, gue masih berpikir positif. Mungkin dia lagi ngerjain tugas juga atau jalan-jalan sama host family-nya. Tapi, sampai keesokan paginya, masih gak ada respon dari dia. Gue berangkat sekolah, berharap bisa ketemu dia saat upacara. Tapi, dia gak masuk hari itu,” perempuan itu mencengkeram roknya, menarik napas pendek sebelum melanjutkan penuturannya. “Gue datangi host family dia sepulang sekolah. Ternyata, dia gak kembali ke rumah setelah hari Minggu sore itu. Mereka sama khawatirnya dengan gue dan sudah melaporkan insiden ini ke kepolisian. Gue mulai curiga. Gak mungkin Vincent menghilang gitu aja tanpa pemberitahuan. Untuk apa juga dia menghindar dari gue? Gue sempat berpikir apakah ini salah gue, apakah orang tua dia gak merestui hubungan kita… tapi kalau itu masalahnya, seharusnya dia juga mengajak gue kabur, dong.”
Angga merinding, seolah ada angin malam yang menerpanya.
“Gue ngejalanin hari-hari di sekolah tanpa dia selama beberapa minggu. Dan selama itu juga, gue aktif mengontak siapapun yang mungkin aja tahu di mana dia berada. Gue bahkan sampai bolak-balik ke kedubes buat mencari kepastian-“ Helena berusaha menahan air mata yang kian tak terbendung. “-dan hasilnya nol. Sampai akhirnya… di minggu ketiga setelah Vincent menghilang, teman sekelas gue mengirim video klip terbaru dari band indie kesukaannya ke gue. Awalnya, gue anggap video itu biasa aja. Tapi, di menit kedua, ada adegan yang lokasinya gak asing di mata gue. Adegan itu berlokasi di lapangan tempat gue dan Vincent biasa main. Dan di adegan itu…” suara Helena memarau, air matanya bercucuran bersama dengan eyeliner hitamnya.
Angga memalingkan wajahnya, tubuhnya masih menggigil. “Apa yang muncul di adegan itu, Helena?” tanyanya tanpa memandang perempuan di sampingnya.
Helena tak menjawabnya dengan kata-kata. Hanya isakan yang terdengar.
“Apa yang kamu lihat, Helena?”
Perempuan yang disebut namanya bergeser mendekati Angga. Kemudian, tangannya mencengkeram bahu Angga, mendorong tubuh lelaki itu untuk berhadapan lebih dekat dengannya. Angga menatap kedua mata Helena yang memerah dan berlinang air mata.
“Gak usah pura-pura bodoh, Angga. Lo tahu, kan, apa yang gue lihat?” Helena merogoh saku roknya tanpa mengalihkan fokus dari pandangan Angga. “Jawab pertanyaan gue, Ngga.”
Angga hanya membisu.
“Jawab, Ngga.”
Lelaki itu masih tak bersuara.
“Jawab!”
Angga menelan ludah. “Di- di adegan itu, kamu lihat aku-“
“DIAM!” Helena menghunuskan sebilah pisau ke leher Angga. Terdengar pekikan pelan dari lelaki itu saat bilah senjata itu mengenai kulit lehernya.
“Hel- Helena, apa-apaan si-“
“Gue di sini,” Helena menyeringai. “Untuk membalas kematian pacar gue.”
#Challenge30HariSAPE_Hari13
PS: Posting ulang chapter 4 di sini, karena semalam web UGM down.
Keterangan:
¹Salah satu jenis es krim di McDonalds yang enak banget.
²Merek kosmetik high-end asal Kanada yang lipstiknya terkenal karena kualitasnya yang bintang lima, meski harganya gak kaki lima.
³Senjata pamungkas Thor, Dewa Petir dalam mitologi Nordik dan Marvel Cinematic Universe.