Hutan pinus itu merupakan tempat rekreasi favorit Amira. Semilir sejuk angin yang menyertai sajak burung-burung di atas pepohonan rindang biasanya mampu menenteramkan pikirannya. Namun, lain halnya dengan siang ini.

Amira terus berlari menghindari bebatuan dan semak belukar yang menghalangi jalannya. Sisi roknya terkoyak saat ia berbelok menghindari sebuah pohon pinus. Perempuan berambut keunguan itu tak menghiraukannya. Dia hanya berkonsentrasi pada rintangan di depannya, memutar otak guna mencari jalan keluar tercepat dari hutan tersebut. Hanya ada satu hal dalam pikiran gadis itu: tidak ada yang boleh mencuri batu obsidian di dalam ranselnya.

Di belakangnya, gerombolan penyamun mengejar Amira seraya bersahut-sahutan. Sumpah serapah meluncur dari mulut enam perampas harta yang terdiri dari pria dan wanita itu. Beberapa penyamun menyerukan nama artifak yang disembunyikan Amira di dalam ranselnya, seolah mereka berhak memiliki batu yang susah payah didapatkannya tersebut.

Deru langkah kaki para penyamun itu kian terdengar jelas di telinga Amira. Mereka sudah semakin dekat.

Semakin dekat.

Semakin dekat.

Amira tak mampu berlari lebih cepat lagi.

Saat salah satu penyamun hampir menjangkau ransel Amira, gadis itu membentuk segel di tangannya, memusatkan sisa kekuatan pada mantra pamungkasnya. Dalam sekejap, api menyembur keluar dari tanah, melebur baju pelindung besi dan senjata para penyamun, membakar mereka hidup-hidup sebelum mereka mampu memberikan perlawanan.

Amira berhenti dan menghempaskan diri ke tanah, lalu berbalik menghadap para penyamun yang tengah berguguran dilalap api. Erangan memilukan mereka memecah ketenangan hutan pinus, diikuti dengan bunyi kepakan sayap burung-burung yang menjauh dari upacara kremasi massal tersebut. Napas Amira yang menderu keras perlahan mulai stabil seiring dengan hembusan napas terakhir para lawannya. Perempuan itu menepis helai violet yang melekat di dahinya karena keringat, kemudian menyeka keringat dari wajah kuning langsatnya.

Mungkin perasaan ini absurd bagi sebagian orang. Mengerikan, bisa jadi. Akan tetapi, bukannya tidak ada yang salah dengan merasakan kelegaan dari kesengsaraan orang lain jika orang itu telah berupaya merampas sesuatu yang berharga bagimu? Itulah yang diyakini oleh Amira saat dirinya bangkit dan meninggalkan jasad para penyamun – kalau segunung baju pelindung gosong yang nyaris tak berbentuk dapat disebut sebagai “jasad”. Amira mengencangkan tali ranselnya, seolah tindakan itu dapat memberikan proteksi tambahan pada batu obsidian di dalamnya.

Sebenarnya, Amira masih punya waktu dua minggu untuk menyerahkan batu itu pada mentornya sebagai syarat untuk naik ke level 20. Namun, bergerak lebih cepat lebih baik daripada menunda-nunda pekerjaan. Terlebih, jika dia sudah mencapai level tersebut, akan lebih banyak tawaran pekerjaan dan imbalan yang didapatkannya. Kehidupan penyihir muda itu di dunia ini pun akan semakin sejahtera.

Amira mencoba menggunakan mantra teleportasi. Namun, upaya itu sia-sia. Mantra pembakar yang dia lepaskan tadi benar-benar menguras kekuatannya. Amira menghela napas dan berjalan menyusuri hutan, mencari tempat yang cukup nyaman untuk beristirahat sejenak guna memulihkan tenaganya.

Tanpa sengaja, kaki Amira terantuk sesuatu.

“Whoa!” pekik Amira seraya berpegangan pada batang pinus, menjaga keseimbangan agar tidak jatuh terjerembab.

Amira menunduk untuk melihat benda apa yang nyaris membuatnya terjatuh. Tak jauh dari sepatunya, sebuah hulu pedang telah terlepas dari tancapannya di tanah. Hulu itu masih tersambung dengan belati pedang, namun belatinya telah patah. Sebagian dari pedang yang rusak itu tertutupi jelaga dan tanah, sebagian lainnya berkilau keperakan memantulkan cahaya matahari. Serpihan belatinya tersebar di sekitar hulu pedang itu, disertai dengan bercak-bercak merah di atas rerumputan hijau.

Jantung Amira berdebar-debar seketika. Pandangan gadis itu pun mengikuti arah bercak-bercak merah tersebut untuk menemukan sumbernya.

Di bawah naungan pohon pinus, seorang pemuda dengan baju pelindung tipis tergeletak bermandikan darah, tak sadarkan diri.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari24