Kriiiiiiing!

Alarm ponselku terbangun. Sementara itu, aku masih terbuai mimpi.

Tiga puluh menit kemudian…

Kriiiiiiing!

Alarm masih berseru nyaring, memecah keheningan malam pertama bulan suci Ramadhan. Kali ini, seruannya sanggup membangunkanku. Masih di ambang batas antara mimpi dan realitas, aku meraih ponsel yang terletak di atas kasur, lalu mematikan alarm sembari melirik penunjuk waktu di layar.

Sudah pukul 04.00. Aku tersentak. Setengah jam lagi azan Subuh! Tanpa memedulikan penampilanku yang acak-acakan, aku pun beranjak dari tempat tidur dan berlari ke dapur kos, begitu gesitnya seolah sedang dikejar setan. Memang, katanya di bulan ini setan sedang dibelenggu. Akan tetapi, aku yakin ada satu jenis setan yang imun akan belenggu Ramadhan: setan penyebab kesiangan!

Sesampainya di dapur, tiba-tiba terdengar seruan dari sampingku.

“Kesiangan? Tenang, kan ada aku…” ujar si pemilik suara dengan lembut, nyaris keibuan.

Aku menoleh ke kanan kiriku, mencari sumber suara itu. Tak ada orang selain aku di dapur. Bulu kudukku mulai berdiri.

“Jangan sama ibu-ibu bau bawang itu! Sahur sama aku aja, dijamin kamu akan melek sampai waktu Subuh berakhir!” sahut suara lain di dekatku berapi-api.

‘Ibu’ yang disebut pun mendengus kesal. “Diam kau, pendatang baru!” sahutnya.

Sumber suara lain menghardikku. “Haduh, kalau sahur jangan makan yang pedas-pedas, dong!” gerutunya, lelah dengan pertikaian kedua pemilik suara itu. “Mending kamu sama aku aja, udah lama kamu gak makan daging kan?” ujarnya kepadaku.

Butuh waktu dua detik hingga aku berhasil memproses apa yang sedang terjadi – atau lebih tepatnya, siapa yang sedang bertikai pada dini hari ini. Seulas senyum merekah di bibirku saat aku berjalan menghampiri meja dapur, tempat percakapan itu berlangsung.

“Oke,” ucapku seraya membuka laci meja. “Untuk sahur kali ini, aku ingin makan…” lanjutku sambil memindai isi laci tersebut.

Tiga bungkus mi instan terbaring di dalam laci, menunggu giliran untuk menjadi santapan para penghuni kos.

“Indomie,” ucapku seraya meraih bungkus mi instan berwarna kuning tersebut.

Terdengar seruan dari masjid terdekat, memberitahukan bahwa waktu Imsak telah tiba. Aku menutup kembali laci meja, tidak menghiraukan protes dari kedua mi instan di dalamnya.

“Terima kasih ya Allah, sudah mengaruniai manusia dengan kemampuan untuk meracik resep mi instan terlezat di dunia,” kataku sembari mempersiapkan panci dan piring. “Terima kasih juga untuk Indomie, yang mau menemaniku di kala sahur!”

#Challenge30HariSAPE_Hari1