words. feelings. random stuff.

Month: May 2018 (Page 2 of 2)

Seleraku, Seleramu


Asap mengepul dari semangkuk mi instan di atas meja belajarku. Mi instan rasa ayam bawang, bercampur dengan bubuk cabai dan bawang goreng, siap mengganjal perutku untuk tiga belas jam ke depan. Tentunya ia tak sendirian, aku membawa sekotak kurma madinah untuk melengkapi santapanku dini hari ini. Sebelum menyantap keduanya, aku tak lupa menyeduh teh celup hangat untuk memuaskan dahagaku, sekaligus menghangatkan tubuhku yang menggigil kedinginan diterpa angin malam.

Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa aku hanya sahur dengan makanan sesederhana ini, bukannya mi instan termasuk makanan yang kurang sehat?

Kamu benar, aku tahu ini bukan makanan yang ideal untuk sahur. Akan tetapi, ingatkah kamu pada masa kecil, ketika kamu begitu senang saat dibelikan es krim? Saat kamu menghadiri pesta ulang tahun temanmu dan melahap ayam goreng krispi yang disajikan dalam kemasan warna-warni bergambar lucu? Bagaimana makanan yang katanya sampah itu menyenangkanmu seolah ia santapan para bangsawan?

Makanan ini hadiah untuk diriku sendiri, karena berhasil melewati empat hari berpuasa sendiri di tanah rantau.

Doakan ya, semoga kesepian ini cepat hilang.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari 4

Senja di Suatu Kafe


Semburat lembayung menghiasi langit di kala senja, warna-warninya terlihat cantik dari jendela kafe tempatku mengerjakan tugas. Ini pertama kalinya aku mengerjakan tugas individu di luar kos, tepatnya di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari kampusku. Kafe bernuansa vintage ini mulai ramai oleh pengunjung yang hendak berbuka puasa bersama. Menyadari deadline tugas yang semakin dekat, aku berusaha untuk tak menghiraukan keriuhan pengunjung dan fokus pada lembar kerja di laptopku.

Menit demi menit pun berlalu. Tak lama kemudian, aku mendengar azan Magrib berkumandang menandakan waktu berbuka puasa. Aku, yang tengah sibuk mengetikkan beberapa baris kalimat, segera menutup lembar kerja dan meraih secangkir teh hangat yang sedari tadi telah terhidangkan di dekat laptopku. Seusai membaca doa berbuka puasa, aku meneguk teh pelan-pelan, membiarkan manisnya madu dan kehangatan teh hijau membasahi kerongkonganku.

Setelah menghabiskan tiga butir kurma, aku membuka kembali lembar kerja tugasku guna menyelesaikannya. Baru saja mengetik sepatah kata, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik dan mendapati seorang lelaki berbaju putih berdiri di belakangku.

“Mbak, sudah salat Magrib belum?” ucap lelaki itu.

Siapa dia? Kenapa tiba-tiba dia menghampiriku? Oke, mungkin ini peringatan bagiku untuk segera menunaikan kewajiban, tapi tetap aja… aku gak kenal kamu, Mas.

Aku merapikan kerudung, berupaya menyembunyikan ketidaknyamanan. “Belum. Nanti setelah ini selesai,” ucapku sembari menunjuk laptop.

“Magrib waktunya sebentar, loh. Kalau ditunda, nanti Mbak lupa,” jawabnya.

Iya juga ya…

“Oke,” aku beranjak dari kursi. “Di sini ada musholla gak?”

“Wah, sayangnya gak ada, Mbak. Kalau mau salat, Mbak bisa ke musholla di toko baju sebelah.”

Mengingatkan tanpa memfasilitasi, huh. Atau jangan-jangan…

“Mas pencuri, ya?” seruku bernada tajam, dengan tangan menutupi laptop. “Pasti kamu ingin ambil laptop saya ketika saya salat, ya kan?”

Lelaki itu terkesiap. “Demi Allah, bukan itu maksud saya!” sahutnya sembari mengatupkan kedua tangan. “Saya sendiri sepupu manajer kafe ini, saya cuma ingin menjaga barang Mbak ketika salat nanti,” lanjutnya.

Baiklah, kalau dia sudah bersumpah.

“Oke, tapi kalau sampai kamu bohong, saya gak akan segan memposting kejadian ini di media sosial agar banyak yang menghujat tindakan kamu,” ujarku tanpa mengalihkan pandangan dari lelaki itu.

Lelaki itu menganggukkan kepala. “Silakan, Mbak. Saya yakin bukan hujatan yang nanti saya dapatkan.”

Aku meraih tas dan meninggalkan kafe tersebut.

Setelah melaksanakan salat Magrib, aku bergegas meninggalkan musholla toko baju yang terletak beberapa blok dari kafe tadi. Aku mempercepat langkahku, was-was jika sumpah lelaki tersebut hanyalah omong kosong.

Sesampainya di depan kafe, tampak eksteriornya nyaris membuatku pingsan.

Kafe itu kosong. Gelap. Papan nama dan lampu neon yang menghiasinya raib. Seolah telah sekian lama tutup atau pindah lokasi.

Aku berlutut, tak mempercayai apa yang kulihat.

Namun, di tengah kekalutan dan kebingungan, seketika hidungku mencium aroma teh hijau. Aku beranjak bangkit dan melangkah mengikuti sumber aroma tersebut.

Di bawah kusen jendela, tepat di sisi lain tempatku mengerjakan tugas tadi, terdapat laptopku lengkap dengan tetikus dan tasnya.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari3

Bangun, Sudah Subuh


Nenekku pernah mengatakan bahwa setiap rumah memiliki penghuni tak kasat mata. Begitu pula dengan rumah Nenek, yang telah berdiri sejak negara ini belum merdeka. Awalnya aku tidak percaya, sebab aku sendiri tidak pernah mengalami kejadian ganjil di rumah Nenek. Merasakan kehadiran “mereka” pun tidak pernah. Oleh karena itu, aku menganggap ucapan Nenek saat itu sebagai bualan belaka.

Namun, Nenek menyanggah opiniku. Beliau mengutarakan bahwa tidak semua penghuni tak kasat mata itu jahat seperti yang ada di film horor. Beberapa di antara mereka tergolong sosok yang baik.

“Sekarang Nenek mau tanya. Selama menginap di rumah Nenek, kamu pernah melewatkan salat Subuh gak?” tanya beliau sembari mengambil sekeping kue kastengel dari wadah di pangkuannya.

“Gak pernah, Nek.”

“Kok bisa?” tanya Nenek lagi sambil mengunyah kastengel. “Rumah ini jauh dari masjid, azan yang terdengar cuma dari TV. Kamu pakai alarm?”

“… gak juga, Nek. Aku bangun sendiri pas waktu Subuh.”

“Hmmm… yakin bangun sendiri?” gumam Nenek.

“Memangnya kenapa? Nenek yang sering bangunin aku?”

“Bukan Nenek, manis,” beliau tersenyum seraya melirik ke belakangku. “Tapi dia.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari2

Drama Indomie


Kriiiiiiing!

Alarm ponselku terbangun. Sementara itu, aku masih terbuai mimpi.

Tiga puluh menit kemudian…

Kriiiiiiing!

Alarm masih berseru nyaring, memecah keheningan malam pertama bulan suci Ramadhan. Kali ini, seruannya sanggup membangunkanku. Masih di ambang batas antara mimpi dan realitas, aku meraih ponsel yang terletak di atas kasur, lalu mematikan alarm sembari melirik penunjuk waktu di layar.

Sudah pukul 04.00. Aku tersentak. Setengah jam lagi azan Subuh! Tanpa memedulikan penampilanku yang acak-acakan, aku pun beranjak dari tempat tidur dan berlari ke dapur kos, begitu gesitnya seolah sedang dikejar setan. Memang, katanya di bulan ini setan sedang dibelenggu. Akan tetapi, aku yakin ada satu jenis setan yang imun akan belenggu Ramadhan: setan penyebab kesiangan!

Sesampainya di dapur, tiba-tiba terdengar seruan dari sampingku.

“Kesiangan? Tenang, kan ada aku…” ujar si pemilik suara dengan lembut, nyaris keibuan.

Aku menoleh ke kanan kiriku, mencari sumber suara itu. Tak ada orang selain aku di dapur. Bulu kudukku mulai berdiri.

“Jangan sama ibu-ibu bau bawang itu! Sahur sama aku aja, dijamin kamu akan melek sampai waktu Subuh berakhir!” sahut suara lain di dekatku berapi-api.

‘Ibu’ yang disebut pun mendengus kesal. “Diam kau, pendatang baru!” sahutnya.

Sumber suara lain menghardikku. “Haduh, kalau sahur jangan makan yang pedas-pedas, dong!” gerutunya, lelah dengan pertikaian kedua pemilik suara itu. “Mending kamu sama aku aja, udah lama kamu gak makan daging kan?” ujarnya kepadaku.

Butuh waktu dua detik hingga aku berhasil memproses apa yang sedang terjadi – atau lebih tepatnya, siapa yang sedang bertikai pada dini hari ini. Seulas senyum merekah di bibirku saat aku berjalan menghampiri meja dapur, tempat percakapan itu berlangsung.

“Oke,” ucapku seraya membuka laci meja. “Untuk sahur kali ini, aku ingin makan…” lanjutku sambil memindai isi laci tersebut.

Tiga bungkus mi instan terbaring di dalam laci, menunggu giliran untuk menjadi santapan para penghuni kos.

“Indomie,” ucapku seraya meraih bungkus mi instan berwarna kuning tersebut.

Terdengar seruan dari masjid terdekat, memberitahukan bahwa waktu Imsak telah tiba. Aku menutup kembali laci meja, tidak menghiraukan protes dari kedua mi instan di dalamnya.

“Terima kasih ya Allah, sudah mengaruniai manusia dengan kemampuan untuk meracik resep mi instan terlezat di dunia,” kataku sembari mempersiapkan panci dan piring. “Terima kasih juga untuk Indomie, yang mau menemaniku di kala sahur!”

#Challenge30HariSAPE_Hari1

Newer posts »

© 2024 s y n t h e s i s

Theme by Anders NorenUp ↑