“Happy birthday to you… makan kue bolu… malam Minggu mati lampu, kasihan deh elu! Hehehe…” Aku bertepuk tangan diiringi tawa, mengakhiri lantunan parodi lagu Happy Birthday karyaku.
Aku membuka penutup boks berwarna merah di depanku. Di dalam boks tersebut, terdapat kue tart berbentuk bulat rasa red velvet. Lapisan merah batanya direkatkan oleh krim keju, dilengkapi topping parutan keju yang menghiasi permukaannya, serta dipercantik oleh seiris coklat putih bertuliskan Happy Birthday! dengan krim berwarna merah. Hanya lilin yang absen dari penampilan kue itu.
“Red velvet, favoritmu.” Aku mengeluarkan kue tart dari boks. “Ya ampun, aku lupa pasang lilin… Sebentar, ya!”
Aku merogoh tasku, mencari-cari sebungkus lilin yang aku beli di toko kelontong tadi. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan bungkusan plastik berisi lilin-lilin kecil aneka warna itu.
“Ketemu!” ujarku sembari meraih bungkusan lilin tersebut. “Maafin aku yang pelupa ini, dong.”
Aku mengeluarkan empat batang lilin berwarna-warni, lalu menyusunnya di atas permukaan kue dalam formasi segi empat. Puas melengkapi penampilan kue, aku mengambil pemantik api dari saku jaketku.
“Tadi itu aku hampir gak kebagian pesanan kue,” ucapku sambil menyalakan salah satu lilin, sebelum berpindah ke lilin lainnya. “Untung aku antre lebih awal, kalau telat sedikit saja… mau gak mau, hari ini kita ngerayain ulang tahunmu pakai roti tawar,” aku tersenyum geli, membayangkan skenario di mana aku dan kekasihku berlomba meniup lilin di atas sepotong roti tawar.
Setelah keempat lilin menyala terang, aku memasukkan kembali pemantik api ke saku jaketku. “Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga…”
Angin berhembus kencang ke arahku, memadamkan api lilin-lilin itu.
“Sekarang juga…” suaraku memelan, begitu pula dengan tepukan tanganku.
“Sekarang… juga…” Tanganku mengatup bersamaan dengan lirik terakhir lagu itu.
Asap putih menerpa wajahku. Aku mengalihkan pandangan ke kue, mendapati lilin-lilin di atasnya sudah padam.
“Happy birthday, Sayang,” aku mengambil pisau plastik dan mengiris kue dalam satu potongan besar. “Seandainya kamu ada di sini, pasti kita bisa menghabiskan kue ini sekarang. Tahu kan, aku ini sering ngirit kalau makan kue…” aku meraih potongan kue dan menggigitnya.
Tak ada respon.
“Jangan diam aja, dong, Say…” sesuatu mencekat tenggorokanku, membuat suaraku terdengar parau. “Jawab apa, gitu. Bisikan, sentuhan, tanda apapun yang bisa kamu kasih ke aku…” ucapku lirih sembari mengunyah kue.
Suasana tetap hening.
“Aku tahu kamu kangen aku. Sama, aku juga kangen banget sama kamu.” Tangisanku tak dapat tertahan lagi. “Makanya, hari ini aku datang ke sini… bukan hanya untuk ngerayain hari ultahmu, tapi juga… untuk ketemu sama kamu.” Masih sesenggukan, aku melahap sisa kue di tanganku.
“Kue ini spesial, loh. Ada bahan yang gak dimiliki kue lain. Berkat kue ini… nanti aku bisa ketemu kamu…”
Aku membungkukkan badan, menyandarkan kepalaku di atas marmer hitam yang membingkai tempat peristirahatan terakhir kekasihku.
“Tunggu aku, Sayang. Sebentar lagi, aku datang.”
#Challenge30HariSAPE_Hari8