words. feelings. random stuff.

Month: May 2018 (Page 1 of 2)

Sendirian, Mbak?


“Sendirian, mbak?” Pria itu mengisap rokoknya, kemudian menghembuskan sekepul asap pada siswi SMP yang tengah melintasi trotoar tempatnya duduk.

Perempuan yang disapa pun terkesiap. Dia mempercepat langkahnya dan meninggalkan si perokok, tak menghiraukan asap rokok yang berbaur dengan seragam putih birunya.

Perokok itu mengalihkan pandangannya ke perempuan lain di ujung jalan yang tengah sibuk dengan ponsel di tangannya. “Pulang sama aku aja yuk, Mbak…”

Perempuan itu memasukkan ponselnya ke saku jaket, wajahnya terlihat kecut setelah mendengar “sapaan” si perokok. Dengan sigap, dia menarik tudung jaketnya dan pergi menyeberang jalan.

“Ih, sombong banget sih, Mbak…” gerutu si perokok sembari mengisap rokoknya untuk kesekian kali.

Si perokok terus mengomentari para pejalan kaki yang melintas di depannya, baik ibu muda bergamis sampai mahasiswa berbaju acak adul.

“Assalamualaikum, cantik…”

Sukses membuat perempuan yang baru saja ditegurnya menjawab salam, si perokok tersenyum simpul. Dia menghabiskan batangan rokok terakhirnya, lalu menginjak puntung rokok itu. Pria itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan pulang.

Melihat seorang pejalan kaki bertudung merah di depannya, si perokok kembali melancarkan aksinya.

“Mbaknya sendirian aja nih? Hehe…”

Pejalan kaki itu tak mengacuhkan gurauan si perokok.

“Eh, ini mbak apa mas ya? Kalo mas, kamu ganteng, deh…”

Orang yang disapa tetap terdiam, menyeberangi zebra cross dalam kesunyian.

Tak puas dengan absennya respon dari sasarannya, si perokok mendekatkan diri hingga dirinya hanya setengah meter dari punggung pejalan kaki itu.

“Mau sosis gak, manis?” Perokok itu menepuk pundak si pejalan kaki.

Pejalan kaki itu berbalik. Wajahnya hancur tak karuan, daging busuk yang terkoyak oleh puluhan belatung meriasi wajah yang tak dapat dikenali itu. Mata hitamnya menatap perokok itu tajam, seolah ia predator yang hendak menangkap mangsa.

“SETAAAAAN!!!!” teriak perokok itu seraya lari terbirit-birit meninggalkan si “pejalan kaki”.

Pejalan kaki itu tertawa terkikik-kikik. Setelah si perokok menghilang, dia melepas topengnya, dalam hati berterima kasih pada video tutorial pembuat topeng monster di YouTube.

Sejak kejadian itu, si perokok tak pernah muncul di trotoar itu lagi.

 

 

dedicated to all catcallers b*ngs*t

#Challenge30HariSAPE_Hari15

Helena (Part 6 – END)


Angga mencengkeram lengan Helena, lalu melempar tubuh perempuan itu ke lantai.

“Ah!” teriak Helena saat tubuhnya menghantam lantai. Pisau di genggamannya terlepas. Melihat senjata yang tergeletak di lantai itu, Helena bergegas meraihnya.

Tak ingin Helena unggul, Angga menerjang ke lantai untuk mengambil pisau lawannya. Helena menendang selangkangan lelaki itu keras-keras sebelum ia berhasil menjangkau pisaunya. Angga mengaduh kesakitan, kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke lantai.

“Gue harus akui, lo berbakat,” Helena mengambil pisaunya dan bangkit. “Tapi ingat, dendam itu motivasi terkuat yang bisa lo punya. Wait, lo ga punya dendam sama gue, justru kebalikannya, yang berarti…” dia mengangkat pisau hingga sejajar dengan wajahnya, bilahnya berkilau tertimpa pantulan cahaya lampu sorot. “Gue yang unggul di sini.”

Angga terbaring di lantai, meringis sembari memegang selangkangannya. “Ja- jang- jangan bunuh gue, please…”

“Lo gak mau dimampusin, tapi malah mampusin pacar orang. Lemah lo,” Helena berpura-pura meludah ke samping. “Sans aja kali. Gue gak akan mampusin lo, asalkan lo mau jawab pertanyaan gue.” Helena memasukkan pisaunya ke saku rok.

“Yaudah, lo mau nanya apaan lagi?” Angga terdengar seperti hampir menangis.

Helena melepaskan ikat pinggang Angga dengan kasar. Kemudian, ia mengikat pergelangan tangan lelaki itu erat-erat. Setelah itu, ia mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam video.

“Yang ini klise, sih,” ucap Helena setelah memastikan ikatannya kencang. “Kenapa lo dan anak band lo ngebunuh Vincent?”

“Gue… gue ngelakuin itu karena-“

“Karena apa?”

“Bisa gak sih lo sekali aja gak motong perkataan gue?”

Fine. Lanjutin omongan lo.”

Angga menarik dan menghela napas sejenak. “Gue ngelakuin itu karena… gue suka sama lo.”

Helena seperti ingin muntah. “Lo? Suka? Sama gue?”

“I-iya, Hel. Gue suka sama lo sejak MOPD. Waktu itu, gue jadi anak keamanan. Lo masih anak baru, polos, gak tahu apa-apa. Gue pengen nge-bully lo kayak yang rekan-rekan gue lakuin ke adik kelas lain, tapi… gue kagak bisa. Soalnya, wajah lo mengalihkan dunia gue,” Angga menatap Helena dengan mata berkaca-kaca, berusaha menarik simpati dari adik kelasnya. “Tadinya, gue pengen deketin lo setelah MOPD selesai. Tapi gue gak punya nyali, soalnya lo juga deket sama temen-temen sekelas lo. Ujung-ujungnya, gue cuma stalking akun LINE dan IG lo. Setahun kemudian, gue merasa udah siap buat deketin lo secara langsung. Rencana gue berjalan hampir mulus… sampai Vincent datang dan menghancurkan semua harapan gue. Gue tahu, gue gak ada apa-apanya dibandingin bule Denmark sialan itu. Akhirnya, gue hanya bisa memandang kedekatan lo berdua dari jauh dan dari layar HP gue. Foto-foto lo dan dia itu bikin gue panas, tahu gak sih.”

“Gitu doang lo baper?” Helena meninggikan suaranya. “Gue bahkan gak pernah upload foto vulgar macem Awkarin.”

“Tetap aja, postingan lo itu nyakitin hati gue. Kalau lo pernah suka sama orang yang udah taken, lo tahu lah rasanya gimana,” Angga memalingkan muka. “Skip ke saat band gue mengeluarkan single terbaru. Kami berkumpul untuk brainstorming ide buat video klipnya. Di saat teman-teman gue lagi diskusi, gue iseng buka IG dan postingan apa yang pertama muncul di feed gue? Foto lo dan Vincent di Dufan. Gue bad mood seketika dan mengajukan ide terabsurd seumur hidup gue; bunuh Vincent di video klip itu. Teman-teman gue sempat menentang ide gue, tapi… gue berhasil mengintimidasi mereka sampai mereka setuju sama gue. Berdasarkan hasil stalking, gue tahu kalau lo berdua main di lapangan tiap weekend. Kami sepakat untuk beraksi Minggu itu, pas dia lagi jalan sendirian. Gue bungkam dia duluan pake kloroform, terus kami seret dia ke lapangan. Dua teman gue ngerekam, sementara gue dan anak band yang lain ngehajar dia sampe mampus. Dia ngelawan, so pasti nyusahin karena fisik dia lebih gede dari gue. Tapi karena kami bawa golok dan kawan-kawan…” Angga terdiam sesaat. “Lo tahu sendiri akhirnya kayak apa. By the way, sebelum dia mampus, Vincent manggil-manggil nama lo.”

Kalimat terakhir sukses membuat Helena semakin murka. “Terus… terus di mana dia sekarang?”

Angga tak menjawab.

Where is he?” Helena mencubit lengan Angga begitu keras sampai lelaki itu berteriak.

“Lapangan!” sahut Angga bersamaan dengan lepasnya cubitan Helena. “Gue kubur dia on the spot, terus kuburannya ditutup pake barang-barang bekas yang ada di sana.”

Tangis Helena kembali pecah. Dia mundur dan menjeda rekaman videonya sejenak, kemudian menghubungi nomor panggilan darurat.

“Lo ngapain, Hel?”

Helena menyeka air matanya. “Telepon 112. Udah sepantesnya lo dapat sanksi atas perbuatan kejam lo.”

“Helena, please-“

“Gue sengaja gak ngelakuin apa-apa ke lo sampai bulan ini. Kalau gue langsung menciduk lo setelah gue tahu Vincent meninggal, lo masih kena pidana buat di bawah umur. Karena sekarang lo udah 18 tahun, lo bisa kena hukuman mati.”

“Helena-“

Sebuah pukulan mendarat di wajah Angga, membuatnya tak sadarkan diri.


PS: Epilog lagi dalam proses. Tunggu postingan berikutnya.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari14

Helena (Part 4 dan 5)


Helena berlari secepat kilat, mengabaikan penjual es krim keliling yang menghardiknya karena nyaris bertabrakan di tikungan jalan. Sesampainya di persimpangan, perempuan berkuncir kuda itu berhenti sejenak, memastikan jalanan aman untuk dilintasi sebelum menyeberanginya. Akhirnya, Helena tiba di lapangan tempat Vincent dan dirinya menghabiskan waktu luang setiap akhir pekan.

Helena berhenti di tengah lapangan dan memalingkan wajahnya dari terik matahari, napas terengah-engah seusai berlari selama sekian menit. Terletak 200 meter dari rumah Helena, lapangan tersebut dipenuhi oleh tumpukan barang bekas dan semak belukar. Hanya dua tiang di tengah lapangan yang mengindikasikan bahwa tempat itu dulunya merupakan lapangan tenis.

“Helena!”

Helena berbalik, mencari sumber sahutan tersebut. Di atas bangku di tepi lapangan, Vincent duduk sambil memegang ponselnya.

“Lima belas menit,” ujar lelaki itu dalam bahasa Inggris sembari menunjukkan stopwatch di layar ponselnya. “Kamu telat lima belas menit!”

“Seriusan? Pakai stopwatch supaya bisa mengukur seberapa lama aku telat?” Helena menghampiri Vincent dengan wajah bersungut-sungut. “Ya Tuhan… Kamu ini penjaga pintu sekolah atau pacar aku, sih?”

Vincent menyengir tanpa rasa bersalah. “Kan kita udah janjian kalau ada yang telat lebih dari 5 menit, dia harus membelikan es krim McFlurry¹ untuk yang on time setelah pertandingan.”

“Kampret,” sahut Helena, kali ini dalam bahasa ibunya. Vincent hanya tersenyum, sudah tinggal di sini cukup lama untuk tahu arti umpatan tersebut.

“Oke, nanti aku beliin. Tapi cuma kalau aku kalah,” Helena menendang tas raket Vincent, diikuti protes dari si pemilik tas. “Sekarang, mana raket yang baru kamu beli itu? Pinjam, dong.”


Helena meraba-raba permukaan kukunya yang dicat merah. “Itu pertemuan dan pertandingan terakhir gue sama Vincent.”

“Lalu siapa yang menang? Di pertandingan itu, maksud gue,” ujar Angga seraya merapikan helai kemerahan di depan keningnya.

“Emang itu penting? Well…” Helena melanjutkan ceritanya.


“Ah!” Vincent terjatuh sembari menangkis serangan dari Helena.

Memanfaatkan keruntuhan pertahanan lawannya, Helena mengembalikan shuttlecock dengan cekatan. Namun, serangannya masih bisa ditangkis oleh Vincent yang telah bangkit, mengejutkannya untuk beberapa saat. Tak ingin terkalahkan, Helena kembali memusatkan perhatian ke arah shuttlecock. Di saat yang tepat, dia pun melakukan pukulan tipuan, mengelabui Vincent yang hanya bisa melongo saat shuttlecock melintasi sisi kirinya hingga berhenti tak jauh dari garis tepi lapangan.

“Aku menang! Woohoo!” teriak Helena sambil mengangkat raketnya, sebelum menghampiri Vincent yang berada di sisi lain lapangan. “Sekarang, berlututlah.”

“Apa?” Vincent mengelap keringat dengan ujung kausnya, memperlihatkan otot perutnya yang terdefinisi.

“Berlututlah kepada ratumu,” Helena menggenggam raket selayaknya tongkat komando. Beberapa helai rambutnya beterbangan diterpa angin. “Ya ampun, jangan bilang kamu gak ngerti kalau itu kutipan film. Hmmm… Something is rotten in the state of Denmark, kalau mengutip Shakespeare.”

“Hey! Tunggu, aku ngerti maksudmu… Thor: Ragnarok, kan?”

Helena menjawab dengan senyuman dan bunyi “ehem”.

Vincent pun membalasnya dengan kekehan pelan. “Oke, kamu menang hari ini. Pukulan terakhirmu tadi keren banget, jadi…” dia berlutut di hadapan perempuan itu, raketnya dibiarkan tergeletak di tanah. “Apa yang bisa kulakukan untukmu, Yang Mulia? Wow, ternyata begini rasanya jadi orang pendek. Kalau ada orang yang lihat kita, kelihatannya seperti pacar yang sedang melam-“

Helena mengecup kening lelaki itu. Kedua mata Vincent membelalak saat bibir lawan mainnya itu berjumpa dengan keningnya. Dua detik berlalu, Helena melepaskan kecupannya seraya menatap iris biru Vincent. “Omong-omong… kamu bau keringet, ew.”

Terlepas dari syok, Vincent sama sekali tak mengantisipasi komentar aneh kekasihnya itu. “Kalau begitu, kenapa kamu cium aku pas lagi keringetan? Gak sayang sama lipstikmu?”

“Lipstikku tahan keringat, kok!” Helena mengecup punggung tangannya, lalu menunjukkannya pada Vincent. Tak ada noda sedikitpun di tangannya. “Aman buat ciuman. Lagipula, aku lebih sayang kamu daripada lipstikku.”

“Oh ya? Apa kamu berani bilang gitu kalau lipstikmu MAC²?”

Helena merengut. “Oke, kali ini kamu benar.”

Vincent tertawa seraya bangkit dari tempatnya berlutut. Kemudian, dia membalas kecupan Helena dengan merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya.

Helena sedikit terkejut. Kekasihnya ini biasanya tak suka berpelukan di luar ruangan.

“Matahari sudah akan terbenam,” ucap Vincent seraya memandang langit yang mulai menunjukkan rona warna senja. “Waktunya pulang… dan gak ada McFlurry buatku.”

“Selama kamu datang cepat dan belum bisa membalas kekalahan, selama itu juga kamu puasa McFlurry,” Helena menarik kalung berliontin Mjolnir³ yang dikenakan kekasihnya, lalu mengecupnya. “Seandainya momen ini bisa berlangsung selamanya.”

Vincent membelai rambut hitam kekasihnya yang tampak kecoklatan bila terpancar sinar matahari. Mereka tetap berdiri selama beberapa saat sebelum Vincent melepaskan pelukannya, kemudian mengambil raketnya dari tanah dan berjalan ke tepi lapangan. “Sampai ketemu besok, Yang Mulia!”

Helena melemparkan raketnya ke Vincent, yang sukses menangkapnya sebelum memasukkannya ke dalam tas. “Kalahkan aku minggu depan, Stormbreaker!” ucapnya seraya melambaikan tangan.


“Biar gue tebak,” ujar Angga seraya mengusir nyamuk yang menghampirinya. “Gak ada minggu depan.”

Helena membunuh nyamuk di depan Angga dengan satu kali tepukan. “Sepulang dari pertandingan itu, gue langsung mandi dan ngerjain tugas. Gue lupa gak ngehubungin Vincent sampai tugas gue selesai. Setelah itu, gue chat dia. Dia gak baca dan gak bales pesan gue. Di situ, gue masih berpikir positif. Mungkin dia lagi ngerjain tugas juga atau jalan-jalan sama host family-nya. Tapi, sampai keesokan paginya, masih gak ada respon dari dia. Gue berangkat sekolah, berharap bisa ketemu dia saat upacara. Tapi, dia gak masuk hari itu,” perempuan itu mencengkeram roknya, menarik napas pendek sebelum melanjutkan penuturannya. “Gue datangi host family dia sepulang sekolah. Ternyata, dia gak kembali ke rumah setelah hari Minggu sore itu. Mereka sama khawatirnya dengan gue dan sudah melaporkan insiden ini ke kepolisian. Gue mulai curiga. Gak mungkin Vincent menghilang gitu aja tanpa pemberitahuan. Untuk apa juga dia menghindar dari gue? Gue sempat berpikir apakah ini salah gue, apakah orang tua dia gak merestui hubungan kita… tapi kalau itu masalahnya, seharusnya dia juga mengajak gue kabur, dong.”

Angga merinding, seolah ada angin malam yang menerpanya.

“Gue ngejalanin hari-hari di sekolah tanpa dia selama beberapa minggu. Dan selama itu juga, gue aktif mengontak siapapun yang mungkin aja tahu di mana dia berada. Gue bahkan sampai bolak-balik ke kedubes buat mencari kepastian-“ Helena berusaha menahan air mata yang kian tak terbendung. “-dan hasilnya nol. Sampai akhirnya… di minggu ketiga setelah Vincent menghilang, teman sekelas gue mengirim video klip terbaru dari band indie kesukaannya ke gue. Awalnya, gue anggap video itu biasa aja. Tapi, di menit kedua, ada adegan yang lokasinya gak asing di mata gue. Adegan itu berlokasi di lapangan tempat gue dan Vincent biasa main. Dan di adegan itu…” suara Helena memarau, air matanya bercucuran bersama dengan eyeliner hitamnya.

Angga memalingkan wajahnya, tubuhnya masih menggigil. “Apa yang muncul di adegan itu, Helena?” tanyanya tanpa memandang perempuan di sampingnya.

Helena tak menjawabnya dengan kata-kata. Hanya isakan yang terdengar.

“Apa yang kamu lihat, Helena?”

Perempuan yang disebut namanya bergeser mendekati Angga. Kemudian, tangannya mencengkeram bahu Angga, mendorong tubuh lelaki itu untuk berhadapan lebih dekat dengannya. Angga menatap kedua mata Helena yang memerah dan berlinang air mata.

“Gak usah pura-pura bodoh, Angga. Lo tahu, kan, apa yang gue lihat?” Helena merogoh saku roknya tanpa mengalihkan fokus dari pandangan Angga. “Jawab pertanyaan gue, Ngga.”

Angga hanya membisu.

“Jawab, Ngga.”

Lelaki itu masih tak bersuara.

“Jawab!”

Angga menelan ludah. “Di- di adegan itu, kamu lihat aku-“

“DIAM!” Helena menghunuskan sebilah pisau ke leher Angga. Terdengar pekikan pelan dari lelaki itu saat bilah senjata itu mengenai kulit lehernya.

“Hel- Helena, apa-apaan si-“

“Gue di sini,” Helena menyeringai. “Untuk membalas kematian pacar gue.”

 

 

#Challenge30HariSAPE_Hari13

PS: Posting ulang chapter 4 di sini, karena semalam web UGM down.

Keterangan:

¹Salah satu jenis es krim di McDonalds yang enak banget.

²Merek kosmetik high-end asal Kanada yang lipstiknya terkenal karena kualitasnya yang bintang lima, meski harganya gak kaki lima.

³Senjata pamungkas Thor, Dewa Petir dalam mitologi Nordik dan Marvel Cinematic Universe.

Helena (Part 3)


So long and goodnight, so long not goodnight!” Sang vokalis menyerukan nada tinggi di akhir lagu. Suaranya fortissimo, begitu keras sampai terdengar di seluruh penjuru sekolah.

Tanpa jeda, band pun membawakan lagu kedua. Masih lagu My Chemical Romance, lagu kali ini berjudul The Ghost Of You. Alunan gitar elektrik dan drum bertempo sedang kembali menyemarakkan suasana pentas.

Di dalam gudang, giliran Angga yang mengalami senam jantung karena jawaban Helena. Setelah berhasil menenangkan dirinya, ia kembali berbicara. “Gue… gue turut berduka cita, ya.”

Helena mengetuk-ketukkan sepatunya seiring dengan ritme lagu. “Gak papa. Kejadiannya semester lalu, kok.”

Sorry, kalau gue boleh tahu…” Angga membetulkan posisi duduknya. “Um… gue pengen tahu soal partner main lo itu. Kenapa lo berhenti gitu aja? Kan lo bisa cari partner lain. Sama temen sekelas lo, misalnya. Yang senang main badminton bukan cuma lo, kan?”

Helena mengepalkan tangannya tanpa terlihat oleh Angga. “Pake logika, dong,” nada suaranya meninggi. “Kalau orang yang paling lo cintai semasa lo hidup di dunia yang kejam ini tiba-tiba meninggal, apa yang lo rasain? Sakit, kan?”

“Eits, jangan baper dulu!” Angga mengangkat telapak tangannya, seolah Helena tengah menodongkan pistol ke arahnya. “Lo nganggep partner main lo lebih dari sekadar teman, ya kan?”

Helena memalingkan tatapan sekilas, lalu menundukkan kepalanya. “Iya,” jawabnya pelan sebelum kuda-kuda kakinya lunglai. Helena pun terduduk di atas meja yang tengah diduduki Angga, kedua tangan menyangga tubuhnya yang ambruk. Ia seolah baru saja berlari maraton sebanyak tujuh putaran di sebuah lapangan sepak bola.

Melihat pertahanan diri Helena yang runtuh, Angga tertegun. Sebenarnya, dia bisa saja melaksanakan tujuan awalnya membawa Helena kemari saat perempuan itu tengah berada di titik terendahnya. Akan tetapi, firasat Angga mendorongnya untuk tetap diam dan tak melakukan apapun terhadap adik kelasnya itu.

“Jadi…” Helena mengedip-kedipkan mata, kemudian menghapus seberkas air mata yang timbul di ujungnya. Sebagian eyeliner hitamnya ikut tersapu, menyisakan noda gelap di punggung tangannya. “Semester lalu, lo inget gak ada anak pertukaran pelajar di sini? Kelas gue yang menampung dia saat itu. Gue kenalan sama dia, kebetulan dia duduk sebangku sama gue. Namanya Vincent. First impression gue, dia itu seperti anaknya bajak laut sama malaikat. Gagah tapi ada sebersit kecantikannya… gimana ya, ngejelasinnya. Sebelas dua belas sama Chris Evans, gitu. Sama-sama pirang dan bermata biru juga. Eh, tapi Evans pirangnya cuma kalo pas dia jadi Captain America.”

Angga terdiam, menyimak penuturan Helena.

“Waktu itu gue nervous, abis gue jarang ketemu spesies cowok yang beginian. Tapi, lama-lama kami bisa akrab walaupun Inggris gue belepotan. Dari pertemuan itu, gue dapat berbagai fun fact tentang Vincent. Pertama, dia berasal dari Denmark. Kedua, dia gak suka lagu-lagu bergenre alternative rock macam MCR. Ketiga, Vincent dan gue sama-sama suka main badminton. Bedanya, gue otodidak, sedangkan dia ikutan klub. Keempat, host family dia satu blok sama rumah gue. Otomatis, kami sering main bareng saat weekend.”

At the end of the world, or the last thing I see, you are never coming home, never coming home…” suara vokalis band sayup-sayup terdengar dari luar gudang. Helena turut melantunkan lirik lagu tersebut dengan suara pelan.

“Terus?” tanya Angga.

Menyadari konsentrasinya terpecah, Helena berhenti menyanyi. “Semuanya baik-baik aja, sampai tiga bulan kemudian.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari11

Helena (Part 2)


Helena melangkah masuk ke gudang, diikuti Angga. Ruangan itu nyaris gelap gulita, hanya warna-warni lampu sorot dari lapangan basket yang menyumbangkan cahayanya melalui ventilasi. Hampir separuh dari ruangan itu diisi oleh berbagai perabotan sekolah, membuat gudang kecil itu menjadi semakin sempit. Helena terbatuk-batuk saat melintasi tumpukan bangku yang sarat dengan debu. Di atasnya, sarang laba-laba membentang dari satu sudut langit-langit ruangan ke atas lemari kayu.

“Sumpek banget,” Helena berdeham sebelum melanjutkan ucapannya. “Lo yakin mau di sini?”

Angga menutup pintu gudang. “Di mana lagi? Toilet?”

“Ya kali, mau terciduk? Gue sih kagak.”

Angga tertawa pelan. “Semua orang lagi di lapangan. Percaya deh, gak ada yang tahu kita ada di sini,” ucapnya sembari mengunci pintu.

Mendengar suara kunci diputar, Helena terkejut. “Ngapain lo kunci, Ngga?”

“Tadi kan lo bilang kita bisa terciduk. Kalau gue kunci, kita aman,” Angga mencabut kunci dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Helena terkesiap. Jantungnya mulai berdebar-debar tak karuan.

Angga melangkah mendekati Helena. Perempuan itu melangkah mundur hingga pinggangnya bertabrakan dengan sebuah meja. Dia menatap Angga nanar. Namun, wajahnya tak menunjukkan ketakutan sedikitpun. Helena tak ingin terlihat lemah di depan laki-laki yang baru saja ditemuinya ini.

Angga berhenti. “Gue tahu kita belum kenal lama, jadi… sebaiknya kita ngobrol aja dulu. Gak usah takut, Helena.”

“Heh, siapa bilang gue takut?” protes Helena sembari menyilangkan kedua tangannya.

“Bukan lo yang bilang begitu,” Angga menepuk bahu jaket Helena yang bergetar. “Tapi badan lo.”

Helena menepis lengan Angga. “Well, gue bukan takut, tapi nervous. Ngerti?”

Angga mengangguk. “Oke, oke. Sekarang… lebih baik kita kenalan lebih lanjut,” ucapnya sembari melangkah ke samping Helena, lalu duduk di atas meja. “Lo sekolah di sini juga, atau cuma ikut nonton pensi?”

“Anak sini,” Helena merapikan helai rambut yang jatuh di depan matanya. “Kelas XI IPS 2. Kalau lo?”

“XII IPA 4. Iya, bentar lagi gue lulus.”

“Udah ada rencana mau lanjut kuliah di mana?”

Angga menggelengkan kepala. “Sejujurnya, gue masih bimbang… antara lanjut kuliah atau nge-band. Hati gue bilang band, tapi orang tua pengen gue kuliah, kalau bisa sampai S2 sekalian.”

“Kok sama, sih… gue juga dituntut begitu sama ortu. Makanya, gue didaftarkan ke sini biar lebih mudah diterima lewat jalur SNMPTN. Kan, katanya SMAN 4 termasuk sekolah favorit.”

“Sama? Lo nge-band juga?”

Helena menghela napas panjang. “Pengennya, sih. Tapi pengetahuan musik gue cuma sebatas pendengar setia. Gue gak bisa main alat musik apa-apa.”

“Sayang banget, padahal main musik itu seru, loh. By the way, hobi lo apa? Selain dengerin musik, maksud gue.”

Helena tertegun sejenak, memandang langit-langit gudang sebelum meneruskan percakapan. “Gue suka main badminton. Tapi, gue udah lama vakum.”

“Kenapa?”

Helena berpaling dan menatap wajah Angga. “Soalnya, partner main gue udah meninggal.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari10

Helena (Part 1)


“Long ago, just like the hearse, you die to get in again, we are so far from you…” Vokalis band berbisik ke mikrofon, sebelum gebukan drum dan musik cadas mengawali pentas seni yang digelar SMAN 4 pada malam itu.

Lapangan basket SMA itu disulap menjadi sebuah venue konser, lengkap dengan panggung megah dan dekorasi. Sesuai dengan tema Back To 2000’s yang diusungnya, band sekolah membawakan lagu berjudul Helena dari My Chemical Romance sebagai pembuka pentas seni tersebut. Para penonton bergoyang dan bersorak mengikuti nyanyian sang vokalis. Beberapa penonton mengabadikan penampilan band sekolah itu dengan ponselnya.

Di barisan terdepan kerumunan, seorang perempuan berambut hitam sebahu berjingkrak-jingrak sambil menyanyikan lirik lagu, mengikuti ritme musik. Tanpa sengaja, perempuan itu menginjak sepatu seorang penonton di belakangnya. Terdengar suara mengaduh.

“Maaf!” Perempuan itu berbalik. Di hadapannya, seorang laki-laki berambut merah menyala mendengus kesal. Namun, raut muka lelaki itu berubah setelah ia menatap perempuan yang menginjak sepatunya.

Eye shadow dan eyeliner hitam mewarnai kelopak mata perempuan itu, sementara gincu berwarna dusty peach menyapu permukaan bibirnya. Dengan jaket kulit hitam, kaus oblong hitam, dan rok merah bermotif kotak-kotak hitam, penampilannya sesuai dengan kode busana emo yang ditetapkan pentas tersebut. Kontras dengan lelaki itu, yang hanya mengecat rambutnya agar berpenampilan menarik. Selebihnya, dia hanya mengandalkan seragam putih abu-abu.

“Wow! Kalau gue yang pakai eye shadow, pasti hasilnya udah kayak rakun.”

Perempuan itu tak dapat menahan tawanya. “Rakun doang bisa bikin ngakak, selera humor gue kok jadi begini amat… you don’t look so bad, though.” Ia tersenyum simpul. “Lo suka MCR?”

“Suka, dong,” laki-laki itu menunjukkan gelang bertuliskan My Chemical Romance di pergelangan tangannya. “Sayang mereka udah bubar sebelum gue sempet lihat mereka manggung. Oh iya, nama lo siapa?”

“Helena. Yap, sama kayak judul lagu yang lagi dimainin.”

“Seriusan? Mungkin lo emang ditakdirin jadi fans MCR!” sahut laki-laki itu mengalahkan keriuhan penonton. “Gue Angga, by the way.”

“Kurang satu huruf dari Rangga AADC, dong,” Helena mengalihkan pandangannya ke arah panggung. Terlihat vokalis sedang berlari untuk mengambil botol air mineral, sementara anggota band lainnya tetap memainkan instrumen masing-masing.

“Mau keluar dari sini, gak?” sahut Angga.

“Apaaa?”

Angga mendekati Helena agar suaranya lebih terdengar. “Mau keluar, gak? Telinga gue sakit kalo kelamaan berdiri dekat speaker!

Helena menatap lelaki yang lebih tinggi 20 sentimeter darinya itu. “Kalau lo mau berduaan, bilang aja dari tadi!”

Angga tertawa. “Oke, oke, you got me. Gudang bawah tangga, gimana?”

Helena tertegun sejenak, tangannya menyentuh dagu. “Boleh, semoga aja pintunya gak kekunci.”

“Lebih bagus lagi, semoga kuncinya ketinggalan di pintu.”

Ketika vokalis menyanyikan bagian chorus, Angga menyeret Helena keluar dari barisan kerumunan. Setelah bebas dari kerumunan, keduanya berlari menuju gudang di bawah tangga yang dimaksud.

Sesampainya di sana, rupanya permohonan Angga terkabul. Petugas kebersihan lupa untuk mencabut kunci dari lubangnya di pintu gudang.

Seulas senyum merekah di bibir Angga. “Kita beruntung hari ini,” dia memutar kunci, lalu membuka pintu gudang dan melangkah mundur. “Perempuan duluan.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari9

Ulang Tahun


Happy birthday to you… makan kue bolu… malam Minggu mati lampu, kasihan deh elu! Hehehe…” Aku bertepuk tangan diiringi tawa, mengakhiri lantunan parodi lagu Happy Birthday karyaku.

Aku membuka penutup boks berwarna merah di depanku. Di dalam boks tersebut, terdapat kue tart berbentuk bulat rasa red velvet. Lapisan merah batanya direkatkan oleh krim keju, dilengkapi topping parutan keju yang menghiasi permukaannya, serta dipercantik oleh seiris coklat putih bertuliskan Happy Birthday! dengan krim berwarna merah. Hanya lilin yang absen dari penampilan kue itu.

Red velvet, favoritmu.” Aku mengeluarkan kue tart dari boks. “Ya ampun, aku lupa pasang lilin… Sebentar, ya!”

Aku merogoh tasku, mencari-cari sebungkus lilin yang aku beli di toko kelontong tadi. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan bungkusan plastik berisi lilin-lilin kecil aneka warna itu.

“Ketemu!” ujarku sembari meraih bungkusan lilin tersebut. “Maafin aku yang pelupa ini, dong.”

Aku mengeluarkan empat batang lilin berwarna-warni, lalu menyusunnya di atas permukaan kue dalam formasi segi empat. Puas melengkapi penampilan kue, aku mengambil pemantik api dari saku jaketku.

“Tadi itu aku hampir gak kebagian pesanan kue,” ucapku sambil menyalakan salah satu lilin, sebelum berpindah ke lilin lainnya. “Untung aku antre lebih awal, kalau telat sedikit saja… mau gak mau, hari ini kita ngerayain ulang tahunmu pakai roti tawar,” aku tersenyum geli, membayangkan skenario di mana aku dan kekasihku berlomba meniup lilin di atas sepotong roti tawar.

Setelah keempat lilin menyala terang, aku memasukkan kembali pemantik api ke saku jaketku. “Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga…”

Angin berhembus kencang ke arahku, memadamkan api lilin-lilin itu.

“Sekarang juga…” suaraku memelan, begitu pula dengan tepukan tanganku.

“Sekarang… juga…” Tanganku mengatup bersamaan dengan lirik terakhir lagu itu.

Asap putih menerpa wajahku. Aku mengalihkan pandangan ke kue, mendapati lilin-lilin di atasnya sudah padam.

Happy birthday, Sayang,” aku mengambil pisau plastik dan mengiris kue dalam satu potongan besar. “Seandainya kamu ada di sini, pasti kita bisa menghabiskan kue ini sekarang. Tahu kan, aku ini sering ngirit kalau makan kue…” aku meraih potongan kue dan menggigitnya.

Tak ada respon.

“Jangan diam aja, dong, Say…” sesuatu mencekat tenggorokanku, membuat suaraku terdengar parau. “Jawab apa, gitu. Bisikan, sentuhan, tanda apapun yang bisa kamu kasih ke aku…” ucapku lirih sembari mengunyah kue.

Suasana tetap hening.

“Aku tahu kamu kangen aku. Sama, aku juga kangen banget sama kamu.” Tangisanku tak dapat tertahan lagi. “Makanya, hari ini aku datang ke sini… bukan hanya untuk ngerayain hari ultahmu, tapi juga… untuk ketemu sama kamu.” Masih sesenggukan, aku melahap sisa kue di tanganku.

“Kue ini spesial, loh. Ada bahan yang gak dimiliki kue lain. Berkat kue ini… nanti aku bisa ketemu kamu…”

Aku membungkukkan badan, menyandarkan kepalaku di atas marmer hitam yang membingkai tempat peristirahatan terakhir kekasihku.

“Tunggu aku, Sayang. Sebentar lagi, aku datang.”

#Challenge30HariSAPE_Hari8

Mereka Tak Cinta Kamu


“Sudah selesai?” Aku bertanya pada temanku yang sedang duduk bersimpuh di sudut musholla, mengatupkan kedua tangannya sembari membisikkan doa.

“Belum… tunggu sebentar, dong,” jawab temanku, nyaris selirih ucapan doanya, sebelum melanjutkan percakapannya dengan Yang Maha Kuasa.

Aku menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya temanku itu berlarut-larut dalam renungannya di sudut musholla. Menyadari kehadiran orang-orang yang ingin salat di barisan ini, aku melangkah mundur dan duduk bersandar pada dinding musholla, menyibukkan diri sendiri dengan mengamati para jamaah yang berlalu lalang melintasi pintu masuk. Mereka hadir dengan gaya berbusana yang beragam, mulai dari kaos oblong dan celana denim hingga baju koko yang terinspirasi dari desain kostum Black Panther. Di bagian musholla yang dipenuhi oleh para perempuan, ada yang berseragam sekolah dan ada yang mengenakan khimar begitu panjang sampai mereka tak memerlukan mukena untuk melaksanakan salat.

Saat aku tengah terdistraksi oleh para jamaah, temanku menepukkan tangan, persis di depan wajahku. “Hei, jangan melamun! Nanti ada yang masuk, loh,” sahutnya.

Aku menepis tangannya. “Ngagetin aja,” ujarku bernada kesal. “Lagian salah kamu juga yang doanya lama banget!” lanjutku sembari bangkit dari tempat duduk.

“Wah wah wah, nyalahin orang berdoa… Memangnya kamu gak mau mendoakan orang tuamu agar selamat di dunia dan akhirat? Setelah segala yang mereka lakukan buat kamu…”

Aku tersentak. Temanku ini memang sok tahu. Apa yang dia ketahui tentang perlakuan orang tua kepadaku? Ingin rasanya aku memberikannya presentasi lengkap dengan beribu-ribu slide Power Point mengenai alasan mengapa aku tidak suka bercerita tentang orang tuaku. Dan mengapa aku enggan berlama-lama berdoa untuk mereka.

Tanpa sadar aku menarik lengan kemejaku, menyembunyikan rona hitam-keunguan dan bekas luka yang menodai pergelangan tanganku.

“Aku sudah berdoa… hanya saja, kelihatannya Tuhan masih enggan membalasnya.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari7

Lewat Jam Malam


Ini pertama kalinya aku balapan motor bersama makhluk astral.

Malam itu, aku mengikuti sebuah pemutaran film yang diselenggarakan oleh suatu organisasi kemahasiswaan. Aku begitu terlarut dalam jalan cerita film sampai tak menyadari bahwa malam semakin larut. Setelah film itu berakhir, aku melirik jam tanganku untuk memastikan bahwa aku belum melewati jam malam.

Jam tanganku menunjukkan pukul 22.49. Hampir 10 menit lagi, gerbang kosku akan dikunci! Tanpa berpamitan dengan teman-temanku, aku berlari meninggalkan ruangan menuju tempat parkir, di mana motorku telah menunggu, siap membawaku pulang.

Singkat cerita, aku menempuh perjalanan kembali ke kos melalui “jalur tikus” agar lebih cepat sampai. Aku melewati jalan-jalan kecil di tengah perumahan lawas dan tanah kosong. Berbeda dengan jalan utama, jalan ini sepi pengguna. Malam itu saja, di jalanan yang krisis penerangan ini hanya ada aku seorang diri. Setidaknya, sejauh mataku memandang, sepertinya hanya aku pengendara motor yang tengah melewati jalan tersebut saat itu…

Sampai satu kilometer kemudian, ketika sebuah motor melaju di belakangku.

Awalnya aku merasa lega, karena akhirnya ada kendaraan lain yang menemaniku melintasi jalan ini. Aku mempersilakan pengendara motor tersebut mendahuluiku sebagai tanda terima kasih. Lampu depan motorku menyorot punggung pengendara motor tersebut, menampilkan semburat hijau muda dan putihnya tulisan merek ojek online. Aku mengedip-kedipkan mata karena silau… dan mengutuk diriku sendiri tak lama setelahnya.

Di depanku, tepatnya di jok belakang motor di depanku, sesosok makhluk berbungkus putih kusam duduk dalam posisi menyamping. Awalnya, aku tak mempercayai bahwa apa yang kulihat itu merupakan makhluk astral. Aku pikir, mungkin itu seorang perempuan bermukena yang baru saja pulang dari salat Isya di masjid bersama suaminya. Sialnya, otakku mengingatkan bahwa salat Isya berjamaah telah selesai lebih dari 3 jam yang lalu. Sambil membaca-baca sekian banyak doa yang kutahu, aku mempercepat laju motor, berusaha untuk mendahului ojek “berpenumpang gelap” tersebut. Aku memfokuskan visi ke jalan agar tidak bertatap muka dengan… apapun yang menumpangi ojek online itu.

Setelah mengendarai motor dengan tangan berkeringat dingin, mulut yang komat-kamit menyebut nama-Nya, dan segenggam keberanian di dalam hati, akhirnya aku berhasil mendahului ojek online tersebut dengan lancar. Akan tetapi, konsentrasiku terpecahkan oleh suara yang begitu jelas terdengar di telingaku.

“Jangan lihat kaca spion,” sahut suara itu.

Secepat kilat, penglihatanku menghitam.

#Challenge30HariSAPE_Hari6

ditulis di tengah kelamnya malam
dengan suasana hati yang kian muram
karena kekalahan Minions,
teringat lima menit terakhir di Avengers: Infinity War,
dan tugas-tugas pengganti UAS yang kian menumpuk.

Buka Bareng: Salted Egg Chicken


Jika sebelumnya aku berbagi cerita fiksi singkat, tulisan kali ini berjenis ulasan makanan. Tujuannya ringkas saja, agar ganti suasana sekaligus berbagi rekomendasi kuliner buat yang ingin mencoba variasi menu buka puasa. Tahan laparnya dulu, ya!

Buka puasa dengan kurma dan teh hangat memang klasik. Untuk makan malamnya, biasanya aku beli nasi dan lauk di warung dekat kosan yang baru buka menjelang waktu berbuka puasa. Akan tetapi, lama kelamaan bosan juga kalau makannya itu-itu saja. Akhirnya, aku browsing di katalog Go-Food, mencari rekomendasi menu dan restoran yang bisa kupesan. Untuk santapan buka puasa hari ini, aku ingin mencoba ayam goreng saus telur asin yang sudah lama ngehits di Jakarta. Dari sekian banyak restoran, akhirnya aku menemukan satu yang spesialis ayam goreng saus telur asin! Nama restorannya Salt-Ing, letaknya kurang lebih 3 km dari kosanku.

Penampakan salted egg chicken ala Salt-Ing

Jadi… Aku baru aja menghabiskan satu kotak salted egg chicken plus nasi dari Salt-Ing. Lebih tepatnya, setelah melaksanakan salat Magrib. Ternyata… Salted egg chicken ini ENAK. BANGET. Saus telur asinnya benar-benar memanjakan lidah, guys. Berasa banget kombinasi antara kuning telur, susu, dan daun jeruk (mungkin ada bahan lain yang aku kurang tahu). Sausnya juga banyak loh, gak tanggung-tanggung masaknya. Gak cuma itu, ayam gorengnya pun cukup renyah walaupun gak serenyah ayam goreng crispy dari restoran cepat saji. Tambahkan telur ceplok sebagai pelengkap… jadilah makan malam yang simple tapi bergizi, asalkan masaknya gak pake micin, hehehehe.

Akhir kata, salted egg chicken ala Salt-Ing punya sensasi asin asin gurih yang bikin aku pengen banget memesan menu ini lagi. Lain kali aku mau coba minta ekstra sambal matah ?

Mau pesan juga? Bisa lewat Go-Food atau langsung ke lokasi restorannya di:

SALT-ING
Jl. Kenari No.4 (bawah Hotel Woodpecker Pavilion)
Demangan Baru, Yogyakarta, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

#Challenge30HariSAPE_Hari5

« Older posts

© 2024 s y n t h e s i s

Theme by Anders NorenUp ↑