So long and goodnight, so long not goodnight!” Sang vokalis menyerukan nada tinggi di akhir lagu. Suaranya fortissimo, begitu keras sampai terdengar di seluruh penjuru sekolah.

Tanpa jeda, band pun membawakan lagu kedua. Masih lagu My Chemical Romance, lagu kali ini berjudul The Ghost Of You. Alunan gitar elektrik dan drum bertempo sedang kembali menyemarakkan suasana pentas.

Di dalam gudang, giliran Angga yang mengalami senam jantung karena jawaban Helena. Setelah berhasil menenangkan dirinya, ia kembali berbicara. “Gue… gue turut berduka cita, ya.”

Helena mengetuk-ketukkan sepatunya seiring dengan ritme lagu. “Gak papa. Kejadiannya semester lalu, kok.”

Sorry, kalau gue boleh tahu…” Angga membetulkan posisi duduknya. “Um… gue pengen tahu soal partner main lo itu. Kenapa lo berhenti gitu aja? Kan lo bisa cari partner lain. Sama temen sekelas lo, misalnya. Yang senang main badminton bukan cuma lo, kan?”

Helena mengepalkan tangannya tanpa terlihat oleh Angga. “Pake logika, dong,” nada suaranya meninggi. “Kalau orang yang paling lo cintai semasa lo hidup di dunia yang kejam ini tiba-tiba meninggal, apa yang lo rasain? Sakit, kan?”

“Eits, jangan baper dulu!” Angga mengangkat telapak tangannya, seolah Helena tengah menodongkan pistol ke arahnya. “Lo nganggep partner main lo lebih dari sekadar teman, ya kan?”

Helena memalingkan tatapan sekilas, lalu menundukkan kepalanya. “Iya,” jawabnya pelan sebelum kuda-kuda kakinya lunglai. Helena pun terduduk di atas meja yang tengah diduduki Angga, kedua tangan menyangga tubuhnya yang ambruk. Ia seolah baru saja berlari maraton sebanyak tujuh putaran di sebuah lapangan sepak bola.

Melihat pertahanan diri Helena yang runtuh, Angga tertegun. Sebenarnya, dia bisa saja melaksanakan tujuan awalnya membawa Helena kemari saat perempuan itu tengah berada di titik terendahnya. Akan tetapi, firasat Angga mendorongnya untuk tetap diam dan tak melakukan apapun terhadap adik kelasnya itu.

“Jadi…” Helena mengedip-kedipkan mata, kemudian menghapus seberkas air mata yang timbul di ujungnya. Sebagian eyeliner hitamnya ikut tersapu, menyisakan noda gelap di punggung tangannya. “Semester lalu, lo inget gak ada anak pertukaran pelajar di sini? Kelas gue yang menampung dia saat itu. Gue kenalan sama dia, kebetulan dia duduk sebangku sama gue. Namanya Vincent. First impression gue, dia itu seperti anaknya bajak laut sama malaikat. Gagah tapi ada sebersit kecantikannya… gimana ya, ngejelasinnya. Sebelas dua belas sama Chris Evans, gitu. Sama-sama pirang dan bermata biru juga. Eh, tapi Evans pirangnya cuma kalo pas dia jadi Captain America.”

Angga terdiam, menyimak penuturan Helena.

“Waktu itu gue nervous, abis gue jarang ketemu spesies cowok yang beginian. Tapi, lama-lama kami bisa akrab walaupun Inggris gue belepotan. Dari pertemuan itu, gue dapat berbagai fun fact tentang Vincent. Pertama, dia berasal dari Denmark. Kedua, dia gak suka lagu-lagu bergenre alternative rock macam MCR. Ketiga, Vincent dan gue sama-sama suka main badminton. Bedanya, gue otodidak, sedangkan dia ikutan klub. Keempat, host family dia satu blok sama rumah gue. Otomatis, kami sering main bareng saat weekend.”

At the end of the world, or the last thing I see, you are never coming home, never coming home…” suara vokalis band sayup-sayup terdengar dari luar gudang. Helena turut melantunkan lirik lagu tersebut dengan suara pelan.

“Terus?” tanya Angga.

Menyadari konsentrasinya terpecah, Helena berhenti menyanyi. “Semuanya baik-baik aja, sampai tiga bulan kemudian.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari11