Angga mencengkeram lengan Helena, lalu melempar tubuh perempuan itu ke lantai.
“Ah!” teriak Helena saat tubuhnya menghantam lantai. Pisau di genggamannya terlepas. Melihat senjata yang tergeletak di lantai itu, Helena bergegas meraihnya.
Tak ingin Helena unggul, Angga menerjang ke lantai untuk mengambil pisau lawannya. Helena menendang selangkangan lelaki itu keras-keras sebelum ia berhasil menjangkau pisaunya. Angga mengaduh kesakitan, kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke lantai.
“Gue harus akui, lo berbakat,” Helena mengambil pisaunya dan bangkit. “Tapi ingat, dendam itu motivasi terkuat yang bisa lo punya. Wait, lo ga punya dendam sama gue, justru kebalikannya, yang berarti…” dia mengangkat pisau hingga sejajar dengan wajahnya, bilahnya berkilau tertimpa pantulan cahaya lampu sorot. “Gue yang unggul di sini.”
Angga terbaring di lantai, meringis sembari memegang selangkangannya. “Ja- jang- jangan bunuh gue, please…”
“Lo gak mau dimampusin, tapi malah mampusin pacar orang. Lemah lo,” Helena berpura-pura meludah ke samping. “Sans aja kali. Gue gak akan mampusin lo, asalkan lo mau jawab pertanyaan gue.” Helena memasukkan pisaunya ke saku rok.
“Yaudah, lo mau nanya apaan lagi?” Angga terdengar seperti hampir menangis.
Helena melepaskan ikat pinggang Angga dengan kasar. Kemudian, ia mengikat pergelangan tangan lelaki itu erat-erat. Setelah itu, ia mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam video.
“Yang ini klise, sih,” ucap Helena setelah memastikan ikatannya kencang. “Kenapa lo dan anak band lo ngebunuh Vincent?”
“Gue… gue ngelakuin itu karena-“
“Karena apa?”
“Bisa gak sih lo sekali aja gak motong perkataan gue?”
“Fine. Lanjutin omongan lo.”
Angga menarik dan menghela napas sejenak. “Gue ngelakuin itu karena… gue suka sama lo.”
Helena seperti ingin muntah. “Lo? Suka? Sama gue?”
“I-iya, Hel. Gue suka sama lo sejak MOPD. Waktu itu, gue jadi anak keamanan. Lo masih anak baru, polos, gak tahu apa-apa. Gue pengen nge-bully lo kayak yang rekan-rekan gue lakuin ke adik kelas lain, tapi… gue kagak bisa. Soalnya, wajah lo mengalihkan dunia gue,” Angga menatap Helena dengan mata berkaca-kaca, berusaha menarik simpati dari adik kelasnya. “Tadinya, gue pengen deketin lo setelah MOPD selesai. Tapi gue gak punya nyali, soalnya lo juga deket sama temen-temen sekelas lo. Ujung-ujungnya, gue cuma stalking akun LINE dan IG lo. Setahun kemudian, gue merasa udah siap buat deketin lo secara langsung. Rencana gue berjalan hampir mulus… sampai Vincent datang dan menghancurkan semua harapan gue. Gue tahu, gue gak ada apa-apanya dibandingin bule Denmark sialan itu. Akhirnya, gue hanya bisa memandang kedekatan lo berdua dari jauh dan dari layar HP gue. Foto-foto lo dan dia itu bikin gue panas, tahu gak sih.”
“Gitu doang lo baper?” Helena meninggikan suaranya. “Gue bahkan gak pernah upload foto vulgar macem Awkarin.”
“Tetap aja, postingan lo itu nyakitin hati gue. Kalau lo pernah suka sama orang yang udah taken, lo tahu lah rasanya gimana,” Angga memalingkan muka. “Skip ke saat band gue mengeluarkan single terbaru. Kami berkumpul untuk brainstorming ide buat video klipnya. Di saat teman-teman gue lagi diskusi, gue iseng buka IG dan postingan apa yang pertama muncul di feed gue? Foto lo dan Vincent di Dufan. Gue bad mood seketika dan mengajukan ide terabsurd seumur hidup gue; bunuh Vincent di video klip itu. Teman-teman gue sempat menentang ide gue, tapi… gue berhasil mengintimidasi mereka sampai mereka setuju sama gue. Berdasarkan hasil stalking, gue tahu kalau lo berdua main di lapangan tiap weekend. Kami sepakat untuk beraksi Minggu itu, pas dia lagi jalan sendirian. Gue bungkam dia duluan pake kloroform, terus kami seret dia ke lapangan. Dua teman gue ngerekam, sementara gue dan anak band yang lain ngehajar dia sampe mampus. Dia ngelawan, so pasti nyusahin karena fisik dia lebih gede dari gue. Tapi karena kami bawa golok dan kawan-kawan…” Angga terdiam sesaat. “Lo tahu sendiri akhirnya kayak apa. By the way, sebelum dia mampus, Vincent manggil-manggil nama lo.”
Kalimat terakhir sukses membuat Helena semakin murka. “Terus… terus di mana dia sekarang?”
Angga tak menjawab.
“Where is he?” Helena mencubit lengan Angga begitu keras sampai lelaki itu berteriak.
“Lapangan!” sahut Angga bersamaan dengan lepasnya cubitan Helena. “Gue kubur dia on the spot, terus kuburannya ditutup pake barang-barang bekas yang ada di sana.”
Tangis Helena kembali pecah. Dia mundur dan menjeda rekaman videonya sejenak, kemudian menghubungi nomor panggilan darurat.
“Lo ngapain, Hel?”
Helena menyeka air matanya. “Telepon 112. Udah sepantesnya lo dapat sanksi atas perbuatan kejam lo.”
“Helena, please-“
“Gue sengaja gak ngelakuin apa-apa ke lo sampai bulan ini. Kalau gue langsung menciduk lo setelah gue tahu Vincent meninggal, lo masih kena pidana buat di bawah umur. Karena sekarang lo udah 18 tahun, lo bisa kena hukuman mati.”
“Helena-“
Sebuah pukulan mendarat di wajah Angga, membuatnya tak sadarkan diri.
PS: Epilog lagi dalam proses. Tunggu postingan berikutnya.
#Challenge30HariSAPE_Hari14