words. feelings. random stuff.

Category: blog competition entry (Page 3 of 3)

childhood

not everyone had a happy childhood, and that’s okay.
when you were a kid, people often asked, “what do you want to do when you grow up?”
and you would answer with a dazzling smile plastered on your face, your soul as green as a maize field in the summer.
you have no idea what’s in store.
you only knew what kind of job you could possibly acquire in the future from your parents, friend, or what you saw in the media.
as you grow up, you realised…
nobody said the future was meant to be easy.
storms come and go
and hearts break and heal
but you have to

stay strong.

toxicity

don’t lecture me about love
when all you’ve been doing
is spreading lies and hatred
in your precious virtual sphere.

don’t ask for my compassion
when you’d rather hope for someone’s downfall
than try to make the world a better place.

don’t expect me to internalize
every single word you’ve told me
when most of the time,
they’re sweets laced with cyanide.

absence

i see you everywhere
even after all these years
in red signs and neon lights;
in black coats of pedestrians
and in glimpses of blue banners.

i feel you everywhere
in lyrics of my favourite songs;
in random images of my dreams;
in the smell of petrichor
after a day full of rain;
in the cold that lingers at night;
and the crimson of my chamber.

i couldn’t help
but to miss you.
i couldn’t save you
even after playing that scene
countless times in my head.

with each replay, i notice
how beautiful you were even in your pain.
even in your fragile state you’re still alluring.
and even when you left me the beauty remained.
you’re just like a rose in a wedding decoration;
sublime, vibrant, but bleeding inside.

towards the silver lining

they said, “happiness is at the end of the tunnel.”
i know they mean well.
i know they’re correct.
however,
what most people tend to forget
is the fact that
some people are closer to the light than the others.
some of us have little trouble finding our way out.
some of us are still lost in the dark.
some of us are losing our way
and some of us just fade away.

nevertheless,
i still believe
that i will reach the end of this seemingly endless tunnel.
all i could do
while finding my way out
is to make peace
with the shadows.

loneliness

little girl

with an ancient soul

once had warmth

in her core.

but as seasons change

people left

carrying her fire

in their hearts;

until there’s nothing

but the cold.

a lack of temperature

killed her inside.

the dance

dance with me tonight

to the sound of the rain

let the rhythm flows

into your veins

close your eyes, my dear

and let your mind wander

together we’ll find a better place

 

the rain will wash your tears

and your heart from anguish

don’t give your mind

a room for fears

for it will ruin you

 

dance with me tonight

hold me close and tight

it’s not the end of the world

 

hold my hand

and feel the cold

if it makes you feel alive

fix my broken parts

and i will mend your scars

we could live for another hundred years

 

dance with me tonight

hold me close and tight

it’s not the end of the world.

Satu Permainan, Sejuta Kisah, Sebuah Pengalaman

Postingan ini mungkin tidak wajar.

Mungkin juga tidak terduga atau sulit untuk diprediksi kemunculannya, kecuali bagi mereka yang telah mengenalku dengan dekat.

Setiap hari, berbagai kisah dan pengalaman baru terarsip dalam memoar semu para mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Apakah semua kisah tersebut akan diabadikan dalam bentuk tulisan? Mungkin tidak semuanya, tergantung pada sang empunya kisah. Tulisan mengenai kehidupan mahasiswa baru UGM pun sudah tak terhitung jumlahnya di dunia maya. Bagaimanapun, ribuan orang telah mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba blog ini. Akan membosankan jika aku turut menenggelamkan diri dan membiarkan tulisanku terseret arus yang telah terkonstruksi secara massal, di mana ribuan blog pribadi mahasiswa menceritakan berbagai kisah yang terjadi dalam rentang waktu bersamaan dengan alur dan kerangka karangan yang mirip pula.

Ini bukan sekadar postingan blog tentang apa yang aku alami pada minggu-minggu pertamaku sebagai mahasiswi baru di UGM.

Postingan ini aku dedikasikan kepada kelima makhluk virtual yang telah mendampingi dan menghiburku, baik dalam suka maupun duka, selama minggu-minggu pertamaku sebagai mahasiswi departemen Ilmu Komunikasi semester satu di UGM.

Pada postingan blog sebelumnya, aku menuliskan ulasan mengenai Mystic Messenger, sebuah permainan bergenre Storytelling Messenger yang dirilis oleh Cheritz Ltd., sebuah perusahaan pengembang permainan asal Korea Selatan pada 5 Juli 2016.[1] Pada postingan ini, aku bermaksud untuk menceritakan bagaimana permainan gratis ini dapat mengubah tatanan hidupku saat menjadi mahasiswi baru di UGM.

photo (c) 2016 - deana fahira

photo (c) 2016 – deana fahira

Kuliah di UGM merupakan pilihan yang aku buat secara spontan. Dapat dikatakan, presensi aku di Yogyakarta terjadi karena kekuatan takdir mampu membawaku keluar dari rencana yang sejak awal sudah dilingkupi dengan ketidakpastian. Konsekuensinya, untuk pertama kali dalam delapan belas tahun, aku hidup secara mandiri dan jauh dari rumah.

Beradaptasi dengan suasana lingkungan yang baru bukanlah hal mudah. Butuh waktu yang tak singkat untuk mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan kemahasiswaan, khususnya bagi aku yang tinggal di rantau. Semuanya berubah 180 derajat – mungkin lebih drastis dari itu. Teman-teman yang biasa kutemui setiap minggunya tidak lagi ada di sisiku dan sudah menempuh jalannya masing-masing. Tidak ada lagi orang tua yang menegur, membantu mengurus pekerjaan rumah, dan membelikan makanan. Semua tanggung jawab ada di tanganku sekarang. Aku harus mengurus kosan sendiri, bepergian sendiri, menjalin pertemanan dan mengenal orang-orang baru… poin terakhir ini bukan pekerjaan mudah untuk seorang introvert yang sudah sekian lama hidup di zona nyaman. Maka wajar bila di suatu titik dalam minggu-minggu pertamaku sebagai seorang mahasiswi, aku merasa pusing dengan semua perubahan ini. Takut. Homesick. Kesepian. Menyesalkah? Kadang-kadang. Tapi apa boleh buat, waktu tak dapat diputar kembali.

It’s a fresh new start – but there are consequences that I have to live with.

Dalam kesepian dan kekalutan itu, aku menemukan sesuatu yang mampu menjadi penyelamat hari-hari burukku.

Ketika sedang mengamati linimasa di media sosial Instagram, aku menjumpai beberapa postingan mengenai tokoh-tokoh dalam game Mystic Messenger. Saat itu aku tidak tahu siapa mereka dan di media apa aku bisa “mengenal” mereka lebih lanjut. Selidik demi selidik, ternyata mereka bukan berasal dari anime atau komik webtoon, melainkan game. Dilingkupi rasa penasaran, aku memutuskan untuk mendownload game tersebut di Play Store.

screenshot_2016-10-29-11-20-45

Menurut riset yang diadakan oleh University College in London pada 2014, terdapat korelasi antara bermain game dan perilaku mengatasi stres, di mana pemain game dapat merelaksasi pikiran dan mengatasi stres dengan lebih baik. [2] Aku rasa pernyataan ini benar, karena setelah memainkan game tersebut, suasana hatiku perlahan terimprovisasi dengan sendirinya. Seperti yang telah kusebutkan dalam ulasanku, game ini memiliki konsep permainan yang menyerupai messenger app. Artinya, aku dapat berinteraksi dengan tokoh game ini, begitu pula sebaliknya. Sejak aku memulai game ini, hari-hariku pun disemarakkan oleh pesan yang dikirim oleh tokoh game Mystic Messenger. Senang rasanya ketika aku mendapatkan notifikasi tentang grup chat baru, terutama jika tokoh favoritku sedang online juga. Di saat aku merasa kesepian, di mana interaksi di dunia nyata tidak banyak membantu mengubah suasana hatiku, kelima tokoh game ini mampu membuatku tertawa berkat postingan mereka di grup chat dan responnya yang tak kalah lucu. Durasi game yang menyesuaikan dengan jam di smartphone milikku membuat interaksi di antara kedua dunia ini terasa lebih nyata. Ketika waktu makan sudah tiba, game ini mampu mengingatkanku untuk segera makan melalui pesan-pesan dari tokohnya. Pesan yang cukup menyindir bagi seorang mahasiswi yang sering melewatkan waktu makan. Mungkin ini terkesan dramatis, tapi game ini membuatku merasa seolah-olah mendapatkan keluarga baru di rantau. Minggu-minggu pertamaku di Yogyakarta tidak lagi terkesan hampa.

Di lain hal, asumsi bahwa bermain game dapat memperburuk prestasi akademik seseorang tidak berlaku di sini. Secara tidak langsung, Mystic Messenger justru membantuku meningkatkan prestasi. Game ini menjadi inspirasi utamaku untuk berbagai tugas yang diberikan oleh dosen. Salah satu contohnya adalah ulasan Mystic Messenger yang aku tuliskan di postingan sebelumnya. Ulasan tersebut ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar-Dasar Penulisan, di mana mahasiswa diimbau untuk menuliskan ulasan mengenai sebuah game, film, atau buku. Selain itu, di mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi, aku mendapatkan materi mengenai komunikasi interpersonal. Belakangan, aku menyadari betapa pentingnya kemampuan berkomunikasi, khususnya secara interpersonal, dalam mempertahankan hubungan sosial yang sehat. Materi ini pun kupraktikkan dalam interaksi virtual yang aku lakukan di game tersebut.

Alur kehidupan seseorang terkadang sulit untuk diprediksi. Bahtera kehidupan dapat mengarung menuju peradaban baru yang penuh warna, atau tenggelam dalam palung tanpa dasar. Dalam kasus yang aku alami, sebuah permainan mampu menggiringku semakin dekat ke premis yang pertama.

 

Catatan Akhir

[1] Cheritz. Information | Mystic Messenger. Terarsip pada http://msg.cheritz.com/info. Diakses pada 5 November 2016 pukul 09:21 WIB.

[2] Emily Collins, Anna L. Cox. 2014. Switch on to Games: Can Digital Games Aid Post-Work Recovery. International Journal of Human-Computer Studies. Diunggah pada Agustus 2014. Terarsip pada http://dx.doi.org/10.1016/j.ijhcs.2013.12.006.

 

Referensi

Cheritz. Information | Mystic Messenger. Terarsip pada http://msg.cheritz.com/info. Diakses pada 5 November 2016 pukul 09:21 WIB.

Emily Collins, Anna L. Cox. 2014. Switch on to Games: Can Digital Games Aid Post-Work Recovery. International Journal of Human-Computer Studies. Diunggah pada Agustus 2014. Terarsip pada http://dx.doi.org/10.1016/j.ijhcs.2013.12.006.

Newer posts »

© 2024 s y n t h e s i s

Theme by Anders NorenUp ↑