words. feelings. random stuff.

Author: Deana Fahira (Page 1 of 6)

communication '16. infp. slytherin. fire and blood. survivor. ailurophile. lowkey bookworm. high functioning fangirl. music is my third language. trying hard to remain positive.

Obsidian (Part 1)


Hutan pinus itu merupakan tempat rekreasi favorit Amira. Semilir sejuk angin yang menyertai sajak burung-burung di atas pepohonan rindang biasanya mampu menenteramkan pikirannya. Namun, lain halnya dengan siang ini.

Amira terus berlari menghindari bebatuan dan semak belukar yang menghalangi jalannya. Sisi roknya terkoyak saat ia berbelok menghindari sebuah pohon pinus. Perempuan berambut keunguan itu tak menghiraukannya. Dia hanya berkonsentrasi pada rintangan di depannya, memutar otak guna mencari jalan keluar tercepat dari hutan tersebut. Hanya ada satu hal dalam pikiran gadis itu: tidak ada yang boleh mencuri batu obsidian di dalam ranselnya.

Di belakangnya, gerombolan penyamun mengejar Amira seraya bersahut-sahutan. Sumpah serapah meluncur dari mulut enam perampas harta yang terdiri dari pria dan wanita itu. Beberapa penyamun menyerukan nama artifak yang disembunyikan Amira di dalam ranselnya, seolah mereka berhak memiliki batu yang susah payah didapatkannya tersebut.

Deru langkah kaki para penyamun itu kian terdengar jelas di telinga Amira. Mereka sudah semakin dekat.

Semakin dekat.

Semakin dekat.

Amira tak mampu berlari lebih cepat lagi.

Saat salah satu penyamun hampir menjangkau ransel Amira, gadis itu membentuk segel di tangannya, memusatkan sisa kekuatan pada mantra pamungkasnya. Dalam sekejap, api menyembur keluar dari tanah, melebur baju pelindung besi dan senjata para penyamun, membakar mereka hidup-hidup sebelum mereka mampu memberikan perlawanan.

Amira berhenti dan menghempaskan diri ke tanah, lalu berbalik menghadap para penyamun yang tengah berguguran dilalap api. Erangan memilukan mereka memecah ketenangan hutan pinus, diikuti dengan bunyi kepakan sayap burung-burung yang menjauh dari upacara kremasi massal tersebut. Napas Amira yang menderu keras perlahan mulai stabil seiring dengan hembusan napas terakhir para lawannya. Perempuan itu menepis helai violet yang melekat di dahinya karena keringat, kemudian menyeka keringat dari wajah kuning langsatnya.

Mungkin perasaan ini absurd bagi sebagian orang. Mengerikan, bisa jadi. Akan tetapi, bukannya tidak ada yang salah dengan merasakan kelegaan dari kesengsaraan orang lain jika orang itu telah berupaya merampas sesuatu yang berharga bagimu? Itulah yang diyakini oleh Amira saat dirinya bangkit dan meninggalkan jasad para penyamun – kalau segunung baju pelindung gosong yang nyaris tak berbentuk dapat disebut sebagai “jasad”. Amira mengencangkan tali ranselnya, seolah tindakan itu dapat memberikan proteksi tambahan pada batu obsidian di dalamnya.

Sebenarnya, Amira masih punya waktu dua minggu untuk menyerahkan batu itu pada mentornya sebagai syarat untuk naik ke level 20. Namun, bergerak lebih cepat lebih baik daripada menunda-nunda pekerjaan. Terlebih, jika dia sudah mencapai level tersebut, akan lebih banyak tawaran pekerjaan dan imbalan yang didapatkannya. Kehidupan penyihir muda itu di dunia ini pun akan semakin sejahtera.

Amira mencoba menggunakan mantra teleportasi. Namun, upaya itu sia-sia. Mantra pembakar yang dia lepaskan tadi benar-benar menguras kekuatannya. Amira menghela napas dan berjalan menyusuri hutan, mencari tempat yang cukup nyaman untuk beristirahat sejenak guna memulihkan tenaganya.

Tanpa sengaja, kaki Amira terantuk sesuatu.

“Whoa!” pekik Amira seraya berpegangan pada batang pinus, menjaga keseimbangan agar tidak jatuh terjerembab.

Amira menunduk untuk melihat benda apa yang nyaris membuatnya terjatuh. Tak jauh dari sepatunya, sebuah hulu pedang telah terlepas dari tancapannya di tanah. Hulu itu masih tersambung dengan belati pedang, namun belatinya telah patah. Sebagian dari pedang yang rusak itu tertutupi jelaga dan tanah, sebagian lainnya berkilau keperakan memantulkan cahaya matahari. Serpihan belatinya tersebar di sekitar hulu pedang itu, disertai dengan bercak-bercak merah di atas rerumputan hijau.

Jantung Amira berdebar-debar seketika. Pandangan gadis itu pun mengikuti arah bercak-bercak merah tersebut untuk menemukan sumbernya.

Di bawah naungan pohon pinus, seorang pemuda dengan baju pelindung tipis tergeletak bermandikan darah, tak sadarkan diri.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari24

Semu


Dari: Aku yang gak pindahan rumah
Untuk: Kamu. Iya, kamu.
Pesan:

Kamu lagi apa sekarang?

Pasti sedang membaca pesan ini di layar ponsel atau komputermu.

Asal tahu saja, di mana pun kamu berada, ada kekuatan tak tampak yang mengawasimu.

Mungkin kamu berpikir perkataanku ini omong kosong.

Mungkin kamu berpikir bahwa Tuhan sedang mengawasimu.

Mungkin juga kamu berpikir bahwa pemerintah sedang mengawasimu.

Mungkin juga kamu berpikir bahwa penjaga keamanan sedang mengawasimu.

Mungkin juga kamu berpikir bahwa orang tua sedang mengawasimu.

Mungkin juga kamu berpikir bahwa makhluk astral sedang mengawasimu.

Dan berbagai kemungkinan lain, tanpa batas.

Sudahlah, aku tidak peduli kemungkinan mana yang lebih tepat. Aku mengirim pesan ini padamu karena apapun yang kamu percayai, aku tetap peduli dengan keselamatan dan masa depanmu.

Sudahkah kamu mengunci pintu rumah?

Bagaimana dengan jendela, apakah sudah terkunci aman?

Perhatikan kamera di laptopmu. Apakah sudah tertutup? Jangan lupa tutupi juga kamera ponselmu.

Cek riwayat penelusuran di browser milikmu. Adakah laman yang ganjil? Aku berharap kamu sudah menghapusnya dari daftar.

Mungkin kamu menganggap aku berlebihan. Akan tetapi, tenang saja, niatku tulus ingin membantu dirimu agar selamat. Ingatlah, bahaya bisa mengintaimu kapan saja. Kamu mungkin mengira bahwa kondisi aman, padahal kenyataannya tidak demikian. Pada era di mana hampir semua aktivitasmu dapat terdokumentasi secara mendetail, tidak ada salahnya untuk menghindari makhluk tak kasat mata yang seringkali mengganggu pengguna internet sepertimu.

Siapa makhluk yang tak kasat mata itu? Banyak. Kamu bisa simpulkan sendiri siapa saja. Yang jelas, mereka bisa mengenalimu tanpa benar-benar berjumpa denganmu. Mereka dapat membentuk citra diri mereka sesuai dengan seleramu. Mereka juga bisa membuat dirimu hanya haus akan kebenaranmu, enggan mencari kebenaran sesungguhnya.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari19

Sisi Lain Dongeng Putri Salju


“Selamat pagi, Cerminku!” Ratu menyibak tirai emas yang menutupi cermin, membiarkan kaca setinggi 2 meter itu merefleksikan bayangan dirinya.

“Selamat Pagi, Yang Mulia. Hari yang cerah, bukan?” sapa si Cermin.

Ratu tersenyum kepada bayangan dirinya. “Secerah refleksi diriku yang kau pantulkan,” ujar Ratu sambil menguncir rambut ikalnya. “Ya, kan?”

“Omong-omong, kau terdengar riang, Yang Mulia. Apa gerangan yang membuat kau merasa bahagia?”

Ratu tertawa pelan, lalu mengambil sebotol alas bedak berwarna porselen dari meja rias. “Aku sudah berhasil menurunkan berat badanku, Cermin! Kini aku sudah semakin cantik seperti yang kau katakan,” Ratu mengaplikasikan alas bedak di atas pipinya, membiarkan pigmen persik itu menyembunyikan rona sawo matang wajahnya. “Sekarang, aku ingin tanya lagi. Cermin, cermin di dinding… siapakah wanita tercantik di dunia?”

Cermin bergumam sesaat. “Wahai Ratu, wanita tercantik di dunia saat ini ialah… Putri Salju.” Refleksi cermin menampilkan potret Putri Salju yang sedang tersenyum. Rambut hitam bak arang membingkai wajah tirusnya. Bulu mata lentik mempercantik kedua matanya. Pipi yang merona merah jambu dan bibir tebal semerah batu rubi melengkapi pesona gadis yang kulitnya nyaris seputih salju tersebut.

Senyum sang Ratu berubah kecut. “Masih dia?” Ratu nyaris menjatuhkan beauty blender di tangannya. “Apa lagi yang harus kuperbuat, Cerminku?”

“Sadarlah, Yang Mulia. Sampai kapan pun, kau tak akan pernah bisa lebih cantik dari Putri Salju.”

Ratu tercengang. “Mengapa? Tentu saja aku bisa! Aku sudah jadi lebih kurus sekarang,” ia berkacak pinggang, merapatkan gaun tidurnya yang semakin longgar seiring dengan turunnya berat badan Ratu. “Aku sudah menata rambutku. Aku sudah pakai krim pencerah wajah setiap malam. Alas bedakku pun sama warnanya dengan yang dipakai Putri Salju. Sekarang aku tinggal memakai lipstik merah, setelah itu kami akan tampak seperti saudara kembar,” Ratu meratakan alas bedak di wajahnya, lalu mengaplikasikan concealer yang setingkat lebih terang dari warna alas bedaknya.

Mendengar pengakuan pemiliknya, Cermin hanya tertawa terbahak-bahak.

Ratu mengernyitkan alisnya. “Apa yang lucu, Cermin?” ucapnya sembari menyapukan gincu merah marun pada bibirnya.

“Kebodohanmu, Yang Mulia,” Cermin menekankan intonasinya pada kata ‘mulia’ seolah itu hinaan. “Kau begitu terobsesi pada kecantikan Putri Salju, sampai kau lupa bahwa dirimu tetaplah jelek.”

Ratu menggigit bawah bibirnya. “Apa kau bilang-”

“Putri Salju tak memerlukan segala usaha yang kau lakukan untuk menjadi cantik, karena dia telah cantik sejak lahir,” pantulan Cermin terdistorsi, perlahan pantulan sang Ratu berubah menjadi siluet hitam tanpa mata dan hidung – hanya ada mulut yang bergerak menirukan ucapan Cermin. “Sedangkan kau? Kulitmu tidak putih seperti miliknya. Rambutmu tidak berombak seperti rambutnya. Pipimu tidak tirus seperti pipinya. Tubuhmu tidak langsing seperti tubuhnya. Sudah kukatakan, sampai kapan pun, kau akan selalu jelek di mata-”

“HENTIKAN!” Ratu melempar gincu ke pantulan Cermin, meretakkan sebagian kecil permukaannya. Namun, siluet hitam di dalamnya masih ada. Siluet itu menyeringai, menunjukkan taring-taringnya yang tajam.

“KAMU JELEK! KAMU JELEK! KAMU JELEK!”

Ratu semakin panik. Dia berlari mengelilingi kamarnya dengan gusar, kedua telinga ditutupi agar tak mendengar cemoohan Cermin. Lalu, dia mengambil sisir dan melemparnya ke Cermin sekeras mungkin. Retakan di permukaannya semakin lebar.

“TIDAK ADA PANGERAN YANG SUDI MELAMAR PEREMPUAN JELEK SEPERTIMU!”

“DIAM!!!” Ratu terpeleset ujung gaun dan terjerembab ke lantai. “Sial!” jerit Ratu diikuti tangisan.

Bukannya berhenti, seruan Cermin semakin menjadi-jadi.

Ratu meringkuk dalam ratapannya sembari menutup erat kedua telinganya. Meskipun tangannya menutupi kedua telinga, teriakan Cermin tetap terngiang di kepalanya, menembus pikirannya.

“TIDAK ADA PANGERAN YANG-”

“STOP!!!”

“SUDI MELAMAR-”

“STOP!!!”

“PEREMPUAN JELEK SEPERTIMU!!!”

Ratu memekik sampai tenggorokannya perih.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari18

Schadenfreude


Teman sekamarku seorang psikopat. Tenang, dia bukan penjahat. Berhadapan dengan darah saja dia takut, apalagi menganiaya manusia. Meskipun seorang psikopat seringkali direpresentasikan dalam film sebagai sosok antagonis bengis haus darah, bukan berarti semua psikopat pasti seperti itu. Di dunia nyata, mereka tampak seperti orang pada umumnya. Begitu juga dengan teman sekamarku ini. Selama menghuni kos bersamanya, hubungan kami baik-baik saja. Aku sama sekali tidak mencurigai bahwa dia adalah seorang psikopat.

Sampai kejadian pada Minggu siang itu.

Kala itu, kami mengunjungi sebuah festival kuliner yang diadakan di sebuah mal dekat kos kami. Sesuai dengan namanya, berbagai jenis kuliner dapat kami temukan di festival ini, mulai dari kuliner lokal hingga kuliner asal mancanegara. Hawa panas dan asap kelabu menerpa kami ketika melewati vendor sate kelinci. Di area minuman, aroma semerbak biji kopi yang tengah digiling berbaur dengan aroma tajam es durian. Suasana auditorium yang sarat dengan pengunjung tidak menyurutkan niat kami untuk berburu santapan lezat. Tak apa makan dan minum sambil berdiri, yang penting puas.

Temanku berhenti di depan vendor es kepal milo. Alasannya, dia ingin mencoba makanan penutup yang sedang viral tersebut. Dia menawarkan untuk memesan satu porsi untukku, tapi aku menolak karena sedang flu. Akhirnya, aku berjalan ke vendor di sebelahnya. Vendor ini menyediakan tteokbbokki, jajanan asal Korea Selatan. Aku memesan satu porsi, lengkap dengan ekstra sambal.

Beberapa saat kemudian, pesananku pun jadi. Setelah membayar pesanan, aku menjumpai temanku dengan semangkuk tteokbbokki di genggaman. Kami kembali berjalan bersama, menikmati jajanan masing-masing. Saat berjalan, temanku bercerita mengenai kelakuan bos magangnya yang menyebalkan.

Tiba-tiba, glek! Aku tersedak.

Aku pun terbatuk-batuk, mangkuk tteokbbokki di genggamanku nyaris terjatuh. Langkahku pun terhenti. Namun, temanku terus melangkah dan melanjutkan ceritanya, seolah ia tidak mendengarku. Dilanda panik, aku tergesa-gesa mengejarnya, menyerukan namanya sekeras mungkin. Dia berbalik dan menghampiriku.

“Abis nyasar? Makanya, jalannya cepetan, dong!” sahutnya diiringi oleh tawa kecil.

Aku menunjuk-nunjuk leher, berharap dia paham maksudku.

“Kamu haus?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala, lalu berpura-pura mencekik diri sendiri. Masak dia gak peka? Sementara itu, tubuhku terasa semakin lemas. Aku mulai menangis. Help me, please!

Temanku justru tertawa terbahak-bahak. “Ya ampun, haus banget? Bilang, dong!” ujar temanku sebelum menengadahkan tangannya. “Mana duitmu, sini kubeliin!” lanjutnya, masih cekikikan.

Saat itu, aku berpikir… apakah ini akhir hidupku? Kalau benar, maka ini akhir yang lebih tragis dari ending film Avengers: Infinity War. Aku ditelantarkan oleh teman sendiri karena miskom dan ketidakpekaannya terhadap musibah. Rasanya seperti berada di sebuah film bersubgenre black comedy, yang hanya lucu jika audiens mampu menertawakan penderitaan karakternya.

Putus asa, aku melangkah mundur dan tanpa sengaja menabrak seseorang di belakangku.

“Astagfirullah!” ucap orang yang baru saja kutabrak. Suaranya terdengar berat, sepertinya dia lelaki.

Aku berbalik, bermaksud untuk meminta maaf. Seandainya tenggorokanku tidak tercekat, mungkin aku sudah melakukannya.

Lelaki itu rupanya jauh lebih peka dibandingkan temanku. Melihat aku memegang leher dengan wajah yang pucat pasi, dia langsung berinisiatif menolong. Dengan sigap, dia menepuk-nepuk punggungku hingga aku memuntahkan makanan yang membuat aku tersedak. Setelah menenangkan diri, aku berterima kasih kepadanya. Temanku juga turut berterima kasih, entah apa alasannya. Kemudian, kami berdua berjalan meninggalkan lelaki itu.

“Kamu kenapa gak nolongin aku tadi? Aku keselek, tahu!” sahutku dengan kesal.

“Ya maaf… tadi itu lucu banget, sumpah. Aku pikir kamu haus, kan kamu emang tukang drama!” lanjutnya diikuti dengan tawa. Lagi.

Aku memasang wajah poker face dan mengaduk-aduk isi mangkuk tteokbbokki yang entah mengapa tidak lagi menggugah selera.

Pikiranku seketika melayang ke momen-momen ketika tinggal sekamar dengan temanku. Ketika dia berkali-kali lupa menyiram tanaman di dekat jendela. Ketika dia memintaku untuk menjepret cicak dengan karet gelang karena suara decakan yang mengusik konsentrasi belajarnya. Ketika dia sama sekali tidak menghiburku setelah aku diputuskan pacar, maupun setelah kami menonton film yang berakhir tragis.

Hanya satu kata yang terlintas dalam pikiranku setelah itu, diikuti oleh satu kalimat.

Anjir.

(Baca kembali kalimat pertama cerita ini.)

 

 

#Challenge30HariSAPE_Hari17

#NadiaTidakTakut


(tw: domestic violence)

“Anjir… gagal lagi!” Seruan itu datang dari bawah pohon beringin tempatku beristirahat.

“Kenapa lo, Ci?” Aku melompat turun untuk menemui rekanku, Poci.

“Gue gagal nakutin anak orang lagi,” Poci menggerutu seraya bersandar pada batang pohon beringin, lalu menghela napas seolah-olah dia makhluk hidup.

“Lo kurang serem kali, Ci. Rumah yang mana, sih?”

“Itu loh,” Poci menarik-narik tangannya untuk menunjuk, namun gagal karena terikat dalam balutan kain kafan kusam. “Blok F, cat kuning, pagar hijau. Susah banget cuy, gue sampe nampakin diri berkali-kali tapi anaknya biasa aja. Pengen pensiun jadi hantu aja dah!”

“Halah… gitu aja udah nyerah. Gimana mau jadi hantu nomor satu se-ASEAN?”

“Lo bisa bilang gitu karena lo udah sering jadi nomor satu! Di-endorse sama film-film, lagi.”

“Ngeles aja bisanya lo. Sini, gue yang samperin aja,” aku mengikat rambut kusutku sebelum terbang menembus langit malam.

Sesampainya di rumah yang dimaksud, aku melayang menembus dinding kamar seorang anak perempuan – kamar anak yang gagal jadi korban ketengilan si Poci. Kemudian, aku bersembunyi di balik lemari pakaian. Dari celah pintunya, aku melihat sang penghuni kamar sedang berbaring di kasurnya, meringkuk di balik selimut. Sementara itu, lampu kamarnya padam. Tidak ada jimat atau penangkal bala sama sekali. Kamar itu juga bersih dari poster-poster selebriti luar negeri yang banyak digandrungi kids zaman now. Tak apa, lagipula aku sendiri tidak membutuhkan medium itu untuk menakuti manusia. Melihat interior kamar tersebut secara keseluruhan, seharusnya ini pekerjaan kelas teri. Aku bingung, di mana susahnya menakuti anak ini?

Aku sedang bersiap untuk mengeluarkan cekikikan khasku ketika gerendel pintu kamar diputar-putar dengan kencang.

“Nadia, buka pintunya!” terdengar sahutan seorang pria dari luar kamar diikuti dengan gedoran pintu bertubi-tubi.

Perempuan yang dipanggil namanya cepat-cepat berguling ke samping kasur dan mencengkeram selimutnya erat-erat. Isak tangis pelan terdengar dari mulutnya, diikuti dengan permohonan lirih kepada Yang Maha Kuasa.

“Buka pintunya atau Ayah dobrak!” seru ayah Nadia menggelegar, diikuti dengan hantaman keras terhadap pintu.

Tangis Nadia semakin menjadi-jadi. Di tengah kebisingan bunyi hantaman pintu, Nadia terus berucap, “Tolong jangan sakiti aku Yah jangan pukul aku jangandorongakutolongaku-”

Pintu kamar terbuka dengan kasar. Seorang pria separuh baya berbadan tegap memasuki kamar. Bau rokok menyeruak memenuhi ruangan. Tangan pria itu meraba-raba dinding, berusaha mencari saklar lampu kamar. Gagal menemukannya, dia meludah dan melangkah mendekati kasur.

“Udah gede masih suka nangis, malu-maluin Ayah saja kamu ini! Mana janjimu, katanya kamu gak mau nangis lagi di depan Ayah?”

Nadia bergerak menjauhi ayahnya. Separuh wajahnya tertutup selimut. Hanya isakan pelan yang terdengar dari mulutnya. Sementara itu, diam-diam aku melesat keluar lemari.

“Karena Nadia nakal lagi hari ini,” ayah Nadia melembutkan nada suaranya. “Kita tidur bareng lagi. Nanti Ayah maafin Nadia kalo Nadia mau tidur sama Ayah.”

“GAK MAU!” Nadia meraung.

“Durhaka, ya, kamu?” Ayah Nadia menarik paksa selimut yang dikenakan putrinya, lalu menjangkau pinggang Nadia dengan tangannya. “Kalau Nadia gak mau tidur di kamar Ayah, lebih baik Ayah yang menidur-”

Tangan dinginku mencengkeram pergelangan tangan pria brengsek itu sebelum ia mampu menyentuh Nadia. “Dia gak sendirian,” ucapku pada ayah Nadia sembari memelototinya.

“Bang-”

“Jangan sakiti dia lagi!” Aku melepas cengkramanku.

Pria itu jatuh pingsan setelah melihatku tanpa berkata apa-apa lagi. Kepalanya membentur tepi kasur saat ia terjatuh ke lantai.

“Siap- siapa di sana?” Nadia menoleh ke kanan-kirinya, lalu meraih selimutnya untuk menghangatkan dirinya yang menggigil.

Aku melayang keluar dari rumah Nadia, tak ingin menakuti anak malang itu lebih traumatis dari yang telah diperbuat oleh ayahnya.

#Challenge30HariSAPE_Hari16

Sendirian, Mbak?


“Sendirian, mbak?” Pria itu mengisap rokoknya, kemudian menghembuskan sekepul asap pada siswi SMP yang tengah melintasi trotoar tempatnya duduk.

Perempuan yang disapa pun terkesiap. Dia mempercepat langkahnya dan meninggalkan si perokok, tak menghiraukan asap rokok yang berbaur dengan seragam putih birunya.

Perokok itu mengalihkan pandangannya ke perempuan lain di ujung jalan yang tengah sibuk dengan ponsel di tangannya. “Pulang sama aku aja yuk, Mbak…”

Perempuan itu memasukkan ponselnya ke saku jaket, wajahnya terlihat kecut setelah mendengar “sapaan” si perokok. Dengan sigap, dia menarik tudung jaketnya dan pergi menyeberang jalan.

“Ih, sombong banget sih, Mbak…” gerutu si perokok sembari mengisap rokoknya untuk kesekian kali.

Si perokok terus mengomentari para pejalan kaki yang melintas di depannya, baik ibu muda bergamis sampai mahasiswa berbaju acak adul.

“Assalamualaikum, cantik…”

Sukses membuat perempuan yang baru saja ditegurnya menjawab salam, si perokok tersenyum simpul. Dia menghabiskan batangan rokok terakhirnya, lalu menginjak puntung rokok itu. Pria itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan pulang.

Melihat seorang pejalan kaki bertudung merah di depannya, si perokok kembali melancarkan aksinya.

“Mbaknya sendirian aja nih? Hehe…”

Pejalan kaki itu tak mengacuhkan gurauan si perokok.

“Eh, ini mbak apa mas ya? Kalo mas, kamu ganteng, deh…”

Orang yang disapa tetap terdiam, menyeberangi zebra cross dalam kesunyian.

Tak puas dengan absennya respon dari sasarannya, si perokok mendekatkan diri hingga dirinya hanya setengah meter dari punggung pejalan kaki itu.

“Mau sosis gak, manis?” Perokok itu menepuk pundak si pejalan kaki.

Pejalan kaki itu berbalik. Wajahnya hancur tak karuan, daging busuk yang terkoyak oleh puluhan belatung meriasi wajah yang tak dapat dikenali itu. Mata hitamnya menatap perokok itu tajam, seolah ia predator yang hendak menangkap mangsa.

“SETAAAAAN!!!!” teriak perokok itu seraya lari terbirit-birit meninggalkan si “pejalan kaki”.

Pejalan kaki itu tertawa terkikik-kikik. Setelah si perokok menghilang, dia melepas topengnya, dalam hati berterima kasih pada video tutorial pembuat topeng monster di YouTube.

Sejak kejadian itu, si perokok tak pernah muncul di trotoar itu lagi.

 

 

dedicated to all catcallers b*ngs*t

#Challenge30HariSAPE_Hari15

Helena (Part 6 – END)


Angga mencengkeram lengan Helena, lalu melempar tubuh perempuan itu ke lantai.

“Ah!” teriak Helena saat tubuhnya menghantam lantai. Pisau di genggamannya terlepas. Melihat senjata yang tergeletak di lantai itu, Helena bergegas meraihnya.

Tak ingin Helena unggul, Angga menerjang ke lantai untuk mengambil pisau lawannya. Helena menendang selangkangan lelaki itu keras-keras sebelum ia berhasil menjangkau pisaunya. Angga mengaduh kesakitan, kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke lantai.

“Gue harus akui, lo berbakat,” Helena mengambil pisaunya dan bangkit. “Tapi ingat, dendam itu motivasi terkuat yang bisa lo punya. Wait, lo ga punya dendam sama gue, justru kebalikannya, yang berarti…” dia mengangkat pisau hingga sejajar dengan wajahnya, bilahnya berkilau tertimpa pantulan cahaya lampu sorot. “Gue yang unggul di sini.”

Angga terbaring di lantai, meringis sembari memegang selangkangannya. “Ja- jang- jangan bunuh gue, please…”

“Lo gak mau dimampusin, tapi malah mampusin pacar orang. Lemah lo,” Helena berpura-pura meludah ke samping. “Sans aja kali. Gue gak akan mampusin lo, asalkan lo mau jawab pertanyaan gue.” Helena memasukkan pisaunya ke saku rok.

“Yaudah, lo mau nanya apaan lagi?” Angga terdengar seperti hampir menangis.

Helena melepaskan ikat pinggang Angga dengan kasar. Kemudian, ia mengikat pergelangan tangan lelaki itu erat-erat. Setelah itu, ia mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam video.

“Yang ini klise, sih,” ucap Helena setelah memastikan ikatannya kencang. “Kenapa lo dan anak band lo ngebunuh Vincent?”

“Gue… gue ngelakuin itu karena-“

“Karena apa?”

“Bisa gak sih lo sekali aja gak motong perkataan gue?”

Fine. Lanjutin omongan lo.”

Angga menarik dan menghela napas sejenak. “Gue ngelakuin itu karena… gue suka sama lo.”

Helena seperti ingin muntah. “Lo? Suka? Sama gue?”

“I-iya, Hel. Gue suka sama lo sejak MOPD. Waktu itu, gue jadi anak keamanan. Lo masih anak baru, polos, gak tahu apa-apa. Gue pengen nge-bully lo kayak yang rekan-rekan gue lakuin ke adik kelas lain, tapi… gue kagak bisa. Soalnya, wajah lo mengalihkan dunia gue,” Angga menatap Helena dengan mata berkaca-kaca, berusaha menarik simpati dari adik kelasnya. “Tadinya, gue pengen deketin lo setelah MOPD selesai. Tapi gue gak punya nyali, soalnya lo juga deket sama temen-temen sekelas lo. Ujung-ujungnya, gue cuma stalking akun LINE dan IG lo. Setahun kemudian, gue merasa udah siap buat deketin lo secara langsung. Rencana gue berjalan hampir mulus… sampai Vincent datang dan menghancurkan semua harapan gue. Gue tahu, gue gak ada apa-apanya dibandingin bule Denmark sialan itu. Akhirnya, gue hanya bisa memandang kedekatan lo berdua dari jauh dan dari layar HP gue. Foto-foto lo dan dia itu bikin gue panas, tahu gak sih.”

“Gitu doang lo baper?” Helena meninggikan suaranya. “Gue bahkan gak pernah upload foto vulgar macem Awkarin.”

“Tetap aja, postingan lo itu nyakitin hati gue. Kalau lo pernah suka sama orang yang udah taken, lo tahu lah rasanya gimana,” Angga memalingkan muka. “Skip ke saat band gue mengeluarkan single terbaru. Kami berkumpul untuk brainstorming ide buat video klipnya. Di saat teman-teman gue lagi diskusi, gue iseng buka IG dan postingan apa yang pertama muncul di feed gue? Foto lo dan Vincent di Dufan. Gue bad mood seketika dan mengajukan ide terabsurd seumur hidup gue; bunuh Vincent di video klip itu. Teman-teman gue sempat menentang ide gue, tapi… gue berhasil mengintimidasi mereka sampai mereka setuju sama gue. Berdasarkan hasil stalking, gue tahu kalau lo berdua main di lapangan tiap weekend. Kami sepakat untuk beraksi Minggu itu, pas dia lagi jalan sendirian. Gue bungkam dia duluan pake kloroform, terus kami seret dia ke lapangan. Dua teman gue ngerekam, sementara gue dan anak band yang lain ngehajar dia sampe mampus. Dia ngelawan, so pasti nyusahin karena fisik dia lebih gede dari gue. Tapi karena kami bawa golok dan kawan-kawan…” Angga terdiam sesaat. “Lo tahu sendiri akhirnya kayak apa. By the way, sebelum dia mampus, Vincent manggil-manggil nama lo.”

Kalimat terakhir sukses membuat Helena semakin murka. “Terus… terus di mana dia sekarang?”

Angga tak menjawab.

Where is he?” Helena mencubit lengan Angga begitu keras sampai lelaki itu berteriak.

“Lapangan!” sahut Angga bersamaan dengan lepasnya cubitan Helena. “Gue kubur dia on the spot, terus kuburannya ditutup pake barang-barang bekas yang ada di sana.”

Tangis Helena kembali pecah. Dia mundur dan menjeda rekaman videonya sejenak, kemudian menghubungi nomor panggilan darurat.

“Lo ngapain, Hel?”

Helena menyeka air matanya. “Telepon 112. Udah sepantesnya lo dapat sanksi atas perbuatan kejam lo.”

“Helena, please-“

“Gue sengaja gak ngelakuin apa-apa ke lo sampai bulan ini. Kalau gue langsung menciduk lo setelah gue tahu Vincent meninggal, lo masih kena pidana buat di bawah umur. Karena sekarang lo udah 18 tahun, lo bisa kena hukuman mati.”

“Helena-“

Sebuah pukulan mendarat di wajah Angga, membuatnya tak sadarkan diri.


PS: Epilog lagi dalam proses. Tunggu postingan berikutnya.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari14

Helena (Part 4 dan 5)


Helena berlari secepat kilat, mengabaikan penjual es krim keliling yang menghardiknya karena nyaris bertabrakan di tikungan jalan. Sesampainya di persimpangan, perempuan berkuncir kuda itu berhenti sejenak, memastikan jalanan aman untuk dilintasi sebelum menyeberanginya. Akhirnya, Helena tiba di lapangan tempat Vincent dan dirinya menghabiskan waktu luang setiap akhir pekan.

Helena berhenti di tengah lapangan dan memalingkan wajahnya dari terik matahari, napas terengah-engah seusai berlari selama sekian menit. Terletak 200 meter dari rumah Helena, lapangan tersebut dipenuhi oleh tumpukan barang bekas dan semak belukar. Hanya dua tiang di tengah lapangan yang mengindikasikan bahwa tempat itu dulunya merupakan lapangan tenis.

“Helena!”

Helena berbalik, mencari sumber sahutan tersebut. Di atas bangku di tepi lapangan, Vincent duduk sambil memegang ponselnya.

“Lima belas menit,” ujar lelaki itu dalam bahasa Inggris sembari menunjukkan stopwatch di layar ponselnya. “Kamu telat lima belas menit!”

“Seriusan? Pakai stopwatch supaya bisa mengukur seberapa lama aku telat?” Helena menghampiri Vincent dengan wajah bersungut-sungut. “Ya Tuhan… Kamu ini penjaga pintu sekolah atau pacar aku, sih?”

Vincent menyengir tanpa rasa bersalah. “Kan kita udah janjian kalau ada yang telat lebih dari 5 menit, dia harus membelikan es krim McFlurry¹ untuk yang on time setelah pertandingan.”

“Kampret,” sahut Helena, kali ini dalam bahasa ibunya. Vincent hanya tersenyum, sudah tinggal di sini cukup lama untuk tahu arti umpatan tersebut.

“Oke, nanti aku beliin. Tapi cuma kalau aku kalah,” Helena menendang tas raket Vincent, diikuti protes dari si pemilik tas. “Sekarang, mana raket yang baru kamu beli itu? Pinjam, dong.”


Helena meraba-raba permukaan kukunya yang dicat merah. “Itu pertemuan dan pertandingan terakhir gue sama Vincent.”

“Lalu siapa yang menang? Di pertandingan itu, maksud gue,” ujar Angga seraya merapikan helai kemerahan di depan keningnya.

“Emang itu penting? Well…” Helena melanjutkan ceritanya.


“Ah!” Vincent terjatuh sembari menangkis serangan dari Helena.

Memanfaatkan keruntuhan pertahanan lawannya, Helena mengembalikan shuttlecock dengan cekatan. Namun, serangannya masih bisa ditangkis oleh Vincent yang telah bangkit, mengejutkannya untuk beberapa saat. Tak ingin terkalahkan, Helena kembali memusatkan perhatian ke arah shuttlecock. Di saat yang tepat, dia pun melakukan pukulan tipuan, mengelabui Vincent yang hanya bisa melongo saat shuttlecock melintasi sisi kirinya hingga berhenti tak jauh dari garis tepi lapangan.

“Aku menang! Woohoo!” teriak Helena sambil mengangkat raketnya, sebelum menghampiri Vincent yang berada di sisi lain lapangan. “Sekarang, berlututlah.”

“Apa?” Vincent mengelap keringat dengan ujung kausnya, memperlihatkan otot perutnya yang terdefinisi.

“Berlututlah kepada ratumu,” Helena menggenggam raket selayaknya tongkat komando. Beberapa helai rambutnya beterbangan diterpa angin. “Ya ampun, jangan bilang kamu gak ngerti kalau itu kutipan film. Hmmm… Something is rotten in the state of Denmark, kalau mengutip Shakespeare.”

“Hey! Tunggu, aku ngerti maksudmu… Thor: Ragnarok, kan?”

Helena menjawab dengan senyuman dan bunyi “ehem”.

Vincent pun membalasnya dengan kekehan pelan. “Oke, kamu menang hari ini. Pukulan terakhirmu tadi keren banget, jadi…” dia berlutut di hadapan perempuan itu, raketnya dibiarkan tergeletak di tanah. “Apa yang bisa kulakukan untukmu, Yang Mulia? Wow, ternyata begini rasanya jadi orang pendek. Kalau ada orang yang lihat kita, kelihatannya seperti pacar yang sedang melam-“

Helena mengecup kening lelaki itu. Kedua mata Vincent membelalak saat bibir lawan mainnya itu berjumpa dengan keningnya. Dua detik berlalu, Helena melepaskan kecupannya seraya menatap iris biru Vincent. “Omong-omong… kamu bau keringet, ew.”

Terlepas dari syok, Vincent sama sekali tak mengantisipasi komentar aneh kekasihnya itu. “Kalau begitu, kenapa kamu cium aku pas lagi keringetan? Gak sayang sama lipstikmu?”

“Lipstikku tahan keringat, kok!” Helena mengecup punggung tangannya, lalu menunjukkannya pada Vincent. Tak ada noda sedikitpun di tangannya. “Aman buat ciuman. Lagipula, aku lebih sayang kamu daripada lipstikku.”

“Oh ya? Apa kamu berani bilang gitu kalau lipstikmu MAC²?”

Helena merengut. “Oke, kali ini kamu benar.”

Vincent tertawa seraya bangkit dari tempatnya berlutut. Kemudian, dia membalas kecupan Helena dengan merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya.

Helena sedikit terkejut. Kekasihnya ini biasanya tak suka berpelukan di luar ruangan.

“Matahari sudah akan terbenam,” ucap Vincent seraya memandang langit yang mulai menunjukkan rona warna senja. “Waktunya pulang… dan gak ada McFlurry buatku.”

“Selama kamu datang cepat dan belum bisa membalas kekalahan, selama itu juga kamu puasa McFlurry,” Helena menarik kalung berliontin Mjolnir³ yang dikenakan kekasihnya, lalu mengecupnya. “Seandainya momen ini bisa berlangsung selamanya.”

Vincent membelai rambut hitam kekasihnya yang tampak kecoklatan bila terpancar sinar matahari. Mereka tetap berdiri selama beberapa saat sebelum Vincent melepaskan pelukannya, kemudian mengambil raketnya dari tanah dan berjalan ke tepi lapangan. “Sampai ketemu besok, Yang Mulia!”

Helena melemparkan raketnya ke Vincent, yang sukses menangkapnya sebelum memasukkannya ke dalam tas. “Kalahkan aku minggu depan, Stormbreaker!” ucapnya seraya melambaikan tangan.


“Biar gue tebak,” ujar Angga seraya mengusir nyamuk yang menghampirinya. “Gak ada minggu depan.”

Helena membunuh nyamuk di depan Angga dengan satu kali tepukan. “Sepulang dari pertandingan itu, gue langsung mandi dan ngerjain tugas. Gue lupa gak ngehubungin Vincent sampai tugas gue selesai. Setelah itu, gue chat dia. Dia gak baca dan gak bales pesan gue. Di situ, gue masih berpikir positif. Mungkin dia lagi ngerjain tugas juga atau jalan-jalan sama host family-nya. Tapi, sampai keesokan paginya, masih gak ada respon dari dia. Gue berangkat sekolah, berharap bisa ketemu dia saat upacara. Tapi, dia gak masuk hari itu,” perempuan itu mencengkeram roknya, menarik napas pendek sebelum melanjutkan penuturannya. “Gue datangi host family dia sepulang sekolah. Ternyata, dia gak kembali ke rumah setelah hari Minggu sore itu. Mereka sama khawatirnya dengan gue dan sudah melaporkan insiden ini ke kepolisian. Gue mulai curiga. Gak mungkin Vincent menghilang gitu aja tanpa pemberitahuan. Untuk apa juga dia menghindar dari gue? Gue sempat berpikir apakah ini salah gue, apakah orang tua dia gak merestui hubungan kita… tapi kalau itu masalahnya, seharusnya dia juga mengajak gue kabur, dong.”

Angga merinding, seolah ada angin malam yang menerpanya.

“Gue ngejalanin hari-hari di sekolah tanpa dia selama beberapa minggu. Dan selama itu juga, gue aktif mengontak siapapun yang mungkin aja tahu di mana dia berada. Gue bahkan sampai bolak-balik ke kedubes buat mencari kepastian-“ Helena berusaha menahan air mata yang kian tak terbendung. “-dan hasilnya nol. Sampai akhirnya… di minggu ketiga setelah Vincent menghilang, teman sekelas gue mengirim video klip terbaru dari band indie kesukaannya ke gue. Awalnya, gue anggap video itu biasa aja. Tapi, di menit kedua, ada adegan yang lokasinya gak asing di mata gue. Adegan itu berlokasi di lapangan tempat gue dan Vincent biasa main. Dan di adegan itu…” suara Helena memarau, air matanya bercucuran bersama dengan eyeliner hitamnya.

Angga memalingkan wajahnya, tubuhnya masih menggigil. “Apa yang muncul di adegan itu, Helena?” tanyanya tanpa memandang perempuan di sampingnya.

Helena tak menjawabnya dengan kata-kata. Hanya isakan yang terdengar.

“Apa yang kamu lihat, Helena?”

Perempuan yang disebut namanya bergeser mendekati Angga. Kemudian, tangannya mencengkeram bahu Angga, mendorong tubuh lelaki itu untuk berhadapan lebih dekat dengannya. Angga menatap kedua mata Helena yang memerah dan berlinang air mata.

“Gak usah pura-pura bodoh, Angga. Lo tahu, kan, apa yang gue lihat?” Helena merogoh saku roknya tanpa mengalihkan fokus dari pandangan Angga. “Jawab pertanyaan gue, Ngga.”

Angga hanya membisu.

“Jawab, Ngga.”

Lelaki itu masih tak bersuara.

“Jawab!”

Angga menelan ludah. “Di- di adegan itu, kamu lihat aku-“

“DIAM!” Helena menghunuskan sebilah pisau ke leher Angga. Terdengar pekikan pelan dari lelaki itu saat bilah senjata itu mengenai kulit lehernya.

“Hel- Helena, apa-apaan si-“

“Gue di sini,” Helena menyeringai. “Untuk membalas kematian pacar gue.”

 

 

#Challenge30HariSAPE_Hari13

PS: Posting ulang chapter 4 di sini, karena semalam web UGM down.

Keterangan:

¹Salah satu jenis es krim di McDonalds yang enak banget.

²Merek kosmetik high-end asal Kanada yang lipstiknya terkenal karena kualitasnya yang bintang lima, meski harganya gak kaki lima.

³Senjata pamungkas Thor, Dewa Petir dalam mitologi Nordik dan Marvel Cinematic Universe.

Helena (Part 3)


So long and goodnight, so long not goodnight!” Sang vokalis menyerukan nada tinggi di akhir lagu. Suaranya fortissimo, begitu keras sampai terdengar di seluruh penjuru sekolah.

Tanpa jeda, band pun membawakan lagu kedua. Masih lagu My Chemical Romance, lagu kali ini berjudul The Ghost Of You. Alunan gitar elektrik dan drum bertempo sedang kembali menyemarakkan suasana pentas.

Di dalam gudang, giliran Angga yang mengalami senam jantung karena jawaban Helena. Setelah berhasil menenangkan dirinya, ia kembali berbicara. “Gue… gue turut berduka cita, ya.”

Helena mengetuk-ketukkan sepatunya seiring dengan ritme lagu. “Gak papa. Kejadiannya semester lalu, kok.”

Sorry, kalau gue boleh tahu…” Angga membetulkan posisi duduknya. “Um… gue pengen tahu soal partner main lo itu. Kenapa lo berhenti gitu aja? Kan lo bisa cari partner lain. Sama temen sekelas lo, misalnya. Yang senang main badminton bukan cuma lo, kan?”

Helena mengepalkan tangannya tanpa terlihat oleh Angga. “Pake logika, dong,” nada suaranya meninggi. “Kalau orang yang paling lo cintai semasa lo hidup di dunia yang kejam ini tiba-tiba meninggal, apa yang lo rasain? Sakit, kan?”

“Eits, jangan baper dulu!” Angga mengangkat telapak tangannya, seolah Helena tengah menodongkan pistol ke arahnya. “Lo nganggep partner main lo lebih dari sekadar teman, ya kan?”

Helena memalingkan tatapan sekilas, lalu menundukkan kepalanya. “Iya,” jawabnya pelan sebelum kuda-kuda kakinya lunglai. Helena pun terduduk di atas meja yang tengah diduduki Angga, kedua tangan menyangga tubuhnya yang ambruk. Ia seolah baru saja berlari maraton sebanyak tujuh putaran di sebuah lapangan sepak bola.

Melihat pertahanan diri Helena yang runtuh, Angga tertegun. Sebenarnya, dia bisa saja melaksanakan tujuan awalnya membawa Helena kemari saat perempuan itu tengah berada di titik terendahnya. Akan tetapi, firasat Angga mendorongnya untuk tetap diam dan tak melakukan apapun terhadap adik kelasnya itu.

“Jadi…” Helena mengedip-kedipkan mata, kemudian menghapus seberkas air mata yang timbul di ujungnya. Sebagian eyeliner hitamnya ikut tersapu, menyisakan noda gelap di punggung tangannya. “Semester lalu, lo inget gak ada anak pertukaran pelajar di sini? Kelas gue yang menampung dia saat itu. Gue kenalan sama dia, kebetulan dia duduk sebangku sama gue. Namanya Vincent. First impression gue, dia itu seperti anaknya bajak laut sama malaikat. Gagah tapi ada sebersit kecantikannya… gimana ya, ngejelasinnya. Sebelas dua belas sama Chris Evans, gitu. Sama-sama pirang dan bermata biru juga. Eh, tapi Evans pirangnya cuma kalo pas dia jadi Captain America.”

Angga terdiam, menyimak penuturan Helena.

“Waktu itu gue nervous, abis gue jarang ketemu spesies cowok yang beginian. Tapi, lama-lama kami bisa akrab walaupun Inggris gue belepotan. Dari pertemuan itu, gue dapat berbagai fun fact tentang Vincent. Pertama, dia berasal dari Denmark. Kedua, dia gak suka lagu-lagu bergenre alternative rock macam MCR. Ketiga, Vincent dan gue sama-sama suka main badminton. Bedanya, gue otodidak, sedangkan dia ikutan klub. Keempat, host family dia satu blok sama rumah gue. Otomatis, kami sering main bareng saat weekend.”

At the end of the world, or the last thing I see, you are never coming home, never coming home…” suara vokalis band sayup-sayup terdengar dari luar gudang. Helena turut melantunkan lirik lagu tersebut dengan suara pelan.

“Terus?” tanya Angga.

Menyadari konsentrasinya terpecah, Helena berhenti menyanyi. “Semuanya baik-baik aja, sampai tiga bulan kemudian.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari11

Helena (Part 2)


Helena melangkah masuk ke gudang, diikuti Angga. Ruangan itu nyaris gelap gulita, hanya warna-warni lampu sorot dari lapangan basket yang menyumbangkan cahayanya melalui ventilasi. Hampir separuh dari ruangan itu diisi oleh berbagai perabotan sekolah, membuat gudang kecil itu menjadi semakin sempit. Helena terbatuk-batuk saat melintasi tumpukan bangku yang sarat dengan debu. Di atasnya, sarang laba-laba membentang dari satu sudut langit-langit ruangan ke atas lemari kayu.

“Sumpek banget,” Helena berdeham sebelum melanjutkan ucapannya. “Lo yakin mau di sini?”

Angga menutup pintu gudang. “Di mana lagi? Toilet?”

“Ya kali, mau terciduk? Gue sih kagak.”

Angga tertawa pelan. “Semua orang lagi di lapangan. Percaya deh, gak ada yang tahu kita ada di sini,” ucapnya sembari mengunci pintu.

Mendengar suara kunci diputar, Helena terkejut. “Ngapain lo kunci, Ngga?”

“Tadi kan lo bilang kita bisa terciduk. Kalau gue kunci, kita aman,” Angga mencabut kunci dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Helena terkesiap. Jantungnya mulai berdebar-debar tak karuan.

Angga melangkah mendekati Helena. Perempuan itu melangkah mundur hingga pinggangnya bertabrakan dengan sebuah meja. Dia menatap Angga nanar. Namun, wajahnya tak menunjukkan ketakutan sedikitpun. Helena tak ingin terlihat lemah di depan laki-laki yang baru saja ditemuinya ini.

Angga berhenti. “Gue tahu kita belum kenal lama, jadi… sebaiknya kita ngobrol aja dulu. Gak usah takut, Helena.”

“Heh, siapa bilang gue takut?” protes Helena sembari menyilangkan kedua tangannya.

“Bukan lo yang bilang begitu,” Angga menepuk bahu jaket Helena yang bergetar. “Tapi badan lo.”

Helena menepis lengan Angga. “Well, gue bukan takut, tapi nervous. Ngerti?”

Angga mengangguk. “Oke, oke. Sekarang… lebih baik kita kenalan lebih lanjut,” ucapnya sembari melangkah ke samping Helena, lalu duduk di atas meja. “Lo sekolah di sini juga, atau cuma ikut nonton pensi?”

“Anak sini,” Helena merapikan helai rambut yang jatuh di depan matanya. “Kelas XI IPS 2. Kalau lo?”

“XII IPA 4. Iya, bentar lagi gue lulus.”

“Udah ada rencana mau lanjut kuliah di mana?”

Angga menggelengkan kepala. “Sejujurnya, gue masih bimbang… antara lanjut kuliah atau nge-band. Hati gue bilang band, tapi orang tua pengen gue kuliah, kalau bisa sampai S2 sekalian.”

“Kok sama, sih… gue juga dituntut begitu sama ortu. Makanya, gue didaftarkan ke sini biar lebih mudah diterima lewat jalur SNMPTN. Kan, katanya SMAN 4 termasuk sekolah favorit.”

“Sama? Lo nge-band juga?”

Helena menghela napas panjang. “Pengennya, sih. Tapi pengetahuan musik gue cuma sebatas pendengar setia. Gue gak bisa main alat musik apa-apa.”

“Sayang banget, padahal main musik itu seru, loh. By the way, hobi lo apa? Selain dengerin musik, maksud gue.”

Helena tertegun sejenak, memandang langit-langit gudang sebelum meneruskan percakapan. “Gue suka main badminton. Tapi, gue udah lama vakum.”

“Kenapa?”

Helena berpaling dan menatap wajah Angga. “Soalnya, partner main gue udah meninggal.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari10

« Older posts

© 2024 s y n t h e s i s

Theme by Anders NorenUp ↑