words. feelings. random stuff.

Tag: helena

Helena (Part 6 – END)


Angga mencengkeram lengan Helena, lalu melempar tubuh perempuan itu ke lantai.

“Ah!” teriak Helena saat tubuhnya menghantam lantai. Pisau di genggamannya terlepas. Melihat senjata yang tergeletak di lantai itu, Helena bergegas meraihnya.

Tak ingin Helena unggul, Angga menerjang ke lantai untuk mengambil pisau lawannya. Helena menendang selangkangan lelaki itu keras-keras sebelum ia berhasil menjangkau pisaunya. Angga mengaduh kesakitan, kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke lantai.

“Gue harus akui, lo berbakat,” Helena mengambil pisaunya dan bangkit. “Tapi ingat, dendam itu motivasi terkuat yang bisa lo punya. Wait, lo ga punya dendam sama gue, justru kebalikannya, yang berarti…” dia mengangkat pisau hingga sejajar dengan wajahnya, bilahnya berkilau tertimpa pantulan cahaya lampu sorot. “Gue yang unggul di sini.”

Angga terbaring di lantai, meringis sembari memegang selangkangannya. “Ja- jang- jangan bunuh gue, please…”

“Lo gak mau dimampusin, tapi malah mampusin pacar orang. Lemah lo,” Helena berpura-pura meludah ke samping. “Sans aja kali. Gue gak akan mampusin lo, asalkan lo mau jawab pertanyaan gue.” Helena memasukkan pisaunya ke saku rok.

“Yaudah, lo mau nanya apaan lagi?” Angga terdengar seperti hampir menangis.

Helena melepaskan ikat pinggang Angga dengan kasar. Kemudian, ia mengikat pergelangan tangan lelaki itu erat-erat. Setelah itu, ia mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam video.

“Yang ini klise, sih,” ucap Helena setelah memastikan ikatannya kencang. “Kenapa lo dan anak band lo ngebunuh Vincent?”

“Gue… gue ngelakuin itu karena-“

“Karena apa?”

“Bisa gak sih lo sekali aja gak motong perkataan gue?”

Fine. Lanjutin omongan lo.”

Angga menarik dan menghela napas sejenak. “Gue ngelakuin itu karena… gue suka sama lo.”

Helena seperti ingin muntah. “Lo? Suka? Sama gue?”

“I-iya, Hel. Gue suka sama lo sejak MOPD. Waktu itu, gue jadi anak keamanan. Lo masih anak baru, polos, gak tahu apa-apa. Gue pengen nge-bully lo kayak yang rekan-rekan gue lakuin ke adik kelas lain, tapi… gue kagak bisa. Soalnya, wajah lo mengalihkan dunia gue,” Angga menatap Helena dengan mata berkaca-kaca, berusaha menarik simpati dari adik kelasnya. “Tadinya, gue pengen deketin lo setelah MOPD selesai. Tapi gue gak punya nyali, soalnya lo juga deket sama temen-temen sekelas lo. Ujung-ujungnya, gue cuma stalking akun LINE dan IG lo. Setahun kemudian, gue merasa udah siap buat deketin lo secara langsung. Rencana gue berjalan hampir mulus… sampai Vincent datang dan menghancurkan semua harapan gue. Gue tahu, gue gak ada apa-apanya dibandingin bule Denmark sialan itu. Akhirnya, gue hanya bisa memandang kedekatan lo berdua dari jauh dan dari layar HP gue. Foto-foto lo dan dia itu bikin gue panas, tahu gak sih.”

“Gitu doang lo baper?” Helena meninggikan suaranya. “Gue bahkan gak pernah upload foto vulgar macem Awkarin.”

“Tetap aja, postingan lo itu nyakitin hati gue. Kalau lo pernah suka sama orang yang udah taken, lo tahu lah rasanya gimana,” Angga memalingkan muka. “Skip ke saat band gue mengeluarkan single terbaru. Kami berkumpul untuk brainstorming ide buat video klipnya. Di saat teman-teman gue lagi diskusi, gue iseng buka IG dan postingan apa yang pertama muncul di feed gue? Foto lo dan Vincent di Dufan. Gue bad mood seketika dan mengajukan ide terabsurd seumur hidup gue; bunuh Vincent di video klip itu. Teman-teman gue sempat menentang ide gue, tapi… gue berhasil mengintimidasi mereka sampai mereka setuju sama gue. Berdasarkan hasil stalking, gue tahu kalau lo berdua main di lapangan tiap weekend. Kami sepakat untuk beraksi Minggu itu, pas dia lagi jalan sendirian. Gue bungkam dia duluan pake kloroform, terus kami seret dia ke lapangan. Dua teman gue ngerekam, sementara gue dan anak band yang lain ngehajar dia sampe mampus. Dia ngelawan, so pasti nyusahin karena fisik dia lebih gede dari gue. Tapi karena kami bawa golok dan kawan-kawan…” Angga terdiam sesaat. “Lo tahu sendiri akhirnya kayak apa. By the way, sebelum dia mampus, Vincent manggil-manggil nama lo.”

Kalimat terakhir sukses membuat Helena semakin murka. “Terus… terus di mana dia sekarang?”

Angga tak menjawab.

Where is he?” Helena mencubit lengan Angga begitu keras sampai lelaki itu berteriak.

“Lapangan!” sahut Angga bersamaan dengan lepasnya cubitan Helena. “Gue kubur dia on the spot, terus kuburannya ditutup pake barang-barang bekas yang ada di sana.”

Tangis Helena kembali pecah. Dia mundur dan menjeda rekaman videonya sejenak, kemudian menghubungi nomor panggilan darurat.

“Lo ngapain, Hel?”

Helena menyeka air matanya. “Telepon 112. Udah sepantesnya lo dapat sanksi atas perbuatan kejam lo.”

“Helena, please-“

“Gue sengaja gak ngelakuin apa-apa ke lo sampai bulan ini. Kalau gue langsung menciduk lo setelah gue tahu Vincent meninggal, lo masih kena pidana buat di bawah umur. Karena sekarang lo udah 18 tahun, lo bisa kena hukuman mati.”

“Helena-“

Sebuah pukulan mendarat di wajah Angga, membuatnya tak sadarkan diri.


PS: Epilog lagi dalam proses. Tunggu postingan berikutnya.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari14

Helena (Part 4 dan 5)


Helena berlari secepat kilat, mengabaikan penjual es krim keliling yang menghardiknya karena nyaris bertabrakan di tikungan jalan. Sesampainya di persimpangan, perempuan berkuncir kuda itu berhenti sejenak, memastikan jalanan aman untuk dilintasi sebelum menyeberanginya. Akhirnya, Helena tiba di lapangan tempat Vincent dan dirinya menghabiskan waktu luang setiap akhir pekan.

Helena berhenti di tengah lapangan dan memalingkan wajahnya dari terik matahari, napas terengah-engah seusai berlari selama sekian menit. Terletak 200 meter dari rumah Helena, lapangan tersebut dipenuhi oleh tumpukan barang bekas dan semak belukar. Hanya dua tiang di tengah lapangan yang mengindikasikan bahwa tempat itu dulunya merupakan lapangan tenis.

“Helena!”

Helena berbalik, mencari sumber sahutan tersebut. Di atas bangku di tepi lapangan, Vincent duduk sambil memegang ponselnya.

“Lima belas menit,” ujar lelaki itu dalam bahasa Inggris sembari menunjukkan stopwatch di layar ponselnya. “Kamu telat lima belas menit!”

“Seriusan? Pakai stopwatch supaya bisa mengukur seberapa lama aku telat?” Helena menghampiri Vincent dengan wajah bersungut-sungut. “Ya Tuhan… Kamu ini penjaga pintu sekolah atau pacar aku, sih?”

Vincent menyengir tanpa rasa bersalah. “Kan kita udah janjian kalau ada yang telat lebih dari 5 menit, dia harus membelikan es krim McFlurry¹ untuk yang on time setelah pertandingan.”

“Kampret,” sahut Helena, kali ini dalam bahasa ibunya. Vincent hanya tersenyum, sudah tinggal di sini cukup lama untuk tahu arti umpatan tersebut.

“Oke, nanti aku beliin. Tapi cuma kalau aku kalah,” Helena menendang tas raket Vincent, diikuti protes dari si pemilik tas. “Sekarang, mana raket yang baru kamu beli itu? Pinjam, dong.”


Helena meraba-raba permukaan kukunya yang dicat merah. “Itu pertemuan dan pertandingan terakhir gue sama Vincent.”

“Lalu siapa yang menang? Di pertandingan itu, maksud gue,” ujar Angga seraya merapikan helai kemerahan di depan keningnya.

“Emang itu penting? Well…” Helena melanjutkan ceritanya.


“Ah!” Vincent terjatuh sembari menangkis serangan dari Helena.

Memanfaatkan keruntuhan pertahanan lawannya, Helena mengembalikan shuttlecock dengan cekatan. Namun, serangannya masih bisa ditangkis oleh Vincent yang telah bangkit, mengejutkannya untuk beberapa saat. Tak ingin terkalahkan, Helena kembali memusatkan perhatian ke arah shuttlecock. Di saat yang tepat, dia pun melakukan pukulan tipuan, mengelabui Vincent yang hanya bisa melongo saat shuttlecock melintasi sisi kirinya hingga berhenti tak jauh dari garis tepi lapangan.

“Aku menang! Woohoo!” teriak Helena sambil mengangkat raketnya, sebelum menghampiri Vincent yang berada di sisi lain lapangan. “Sekarang, berlututlah.”

“Apa?” Vincent mengelap keringat dengan ujung kausnya, memperlihatkan otot perutnya yang terdefinisi.

“Berlututlah kepada ratumu,” Helena menggenggam raket selayaknya tongkat komando. Beberapa helai rambutnya beterbangan diterpa angin. “Ya ampun, jangan bilang kamu gak ngerti kalau itu kutipan film. Hmmm… Something is rotten in the state of Denmark, kalau mengutip Shakespeare.”

“Hey! Tunggu, aku ngerti maksudmu… Thor: Ragnarok, kan?”

Helena menjawab dengan senyuman dan bunyi “ehem”.

Vincent pun membalasnya dengan kekehan pelan. “Oke, kamu menang hari ini. Pukulan terakhirmu tadi keren banget, jadi…” dia berlutut di hadapan perempuan itu, raketnya dibiarkan tergeletak di tanah. “Apa yang bisa kulakukan untukmu, Yang Mulia? Wow, ternyata begini rasanya jadi orang pendek. Kalau ada orang yang lihat kita, kelihatannya seperti pacar yang sedang melam-“

Helena mengecup kening lelaki itu. Kedua mata Vincent membelalak saat bibir lawan mainnya itu berjumpa dengan keningnya. Dua detik berlalu, Helena melepaskan kecupannya seraya menatap iris biru Vincent. “Omong-omong… kamu bau keringet, ew.”

Terlepas dari syok, Vincent sama sekali tak mengantisipasi komentar aneh kekasihnya itu. “Kalau begitu, kenapa kamu cium aku pas lagi keringetan? Gak sayang sama lipstikmu?”

“Lipstikku tahan keringat, kok!” Helena mengecup punggung tangannya, lalu menunjukkannya pada Vincent. Tak ada noda sedikitpun di tangannya. “Aman buat ciuman. Lagipula, aku lebih sayang kamu daripada lipstikku.”

“Oh ya? Apa kamu berani bilang gitu kalau lipstikmu MAC²?”

Helena merengut. “Oke, kali ini kamu benar.”

Vincent tertawa seraya bangkit dari tempatnya berlutut. Kemudian, dia membalas kecupan Helena dengan merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya.

Helena sedikit terkejut. Kekasihnya ini biasanya tak suka berpelukan di luar ruangan.

“Matahari sudah akan terbenam,” ucap Vincent seraya memandang langit yang mulai menunjukkan rona warna senja. “Waktunya pulang… dan gak ada McFlurry buatku.”

“Selama kamu datang cepat dan belum bisa membalas kekalahan, selama itu juga kamu puasa McFlurry,” Helena menarik kalung berliontin Mjolnir³ yang dikenakan kekasihnya, lalu mengecupnya. “Seandainya momen ini bisa berlangsung selamanya.”

Vincent membelai rambut hitam kekasihnya yang tampak kecoklatan bila terpancar sinar matahari. Mereka tetap berdiri selama beberapa saat sebelum Vincent melepaskan pelukannya, kemudian mengambil raketnya dari tanah dan berjalan ke tepi lapangan. “Sampai ketemu besok, Yang Mulia!”

Helena melemparkan raketnya ke Vincent, yang sukses menangkapnya sebelum memasukkannya ke dalam tas. “Kalahkan aku minggu depan, Stormbreaker!” ucapnya seraya melambaikan tangan.


“Biar gue tebak,” ujar Angga seraya mengusir nyamuk yang menghampirinya. “Gak ada minggu depan.”

Helena membunuh nyamuk di depan Angga dengan satu kali tepukan. “Sepulang dari pertandingan itu, gue langsung mandi dan ngerjain tugas. Gue lupa gak ngehubungin Vincent sampai tugas gue selesai. Setelah itu, gue chat dia. Dia gak baca dan gak bales pesan gue. Di situ, gue masih berpikir positif. Mungkin dia lagi ngerjain tugas juga atau jalan-jalan sama host family-nya. Tapi, sampai keesokan paginya, masih gak ada respon dari dia. Gue berangkat sekolah, berharap bisa ketemu dia saat upacara. Tapi, dia gak masuk hari itu,” perempuan itu mencengkeram roknya, menarik napas pendek sebelum melanjutkan penuturannya. “Gue datangi host family dia sepulang sekolah. Ternyata, dia gak kembali ke rumah setelah hari Minggu sore itu. Mereka sama khawatirnya dengan gue dan sudah melaporkan insiden ini ke kepolisian. Gue mulai curiga. Gak mungkin Vincent menghilang gitu aja tanpa pemberitahuan. Untuk apa juga dia menghindar dari gue? Gue sempat berpikir apakah ini salah gue, apakah orang tua dia gak merestui hubungan kita… tapi kalau itu masalahnya, seharusnya dia juga mengajak gue kabur, dong.”

Angga merinding, seolah ada angin malam yang menerpanya.

“Gue ngejalanin hari-hari di sekolah tanpa dia selama beberapa minggu. Dan selama itu juga, gue aktif mengontak siapapun yang mungkin aja tahu di mana dia berada. Gue bahkan sampai bolak-balik ke kedubes buat mencari kepastian-“ Helena berusaha menahan air mata yang kian tak terbendung. “-dan hasilnya nol. Sampai akhirnya… di minggu ketiga setelah Vincent menghilang, teman sekelas gue mengirim video klip terbaru dari band indie kesukaannya ke gue. Awalnya, gue anggap video itu biasa aja. Tapi, di menit kedua, ada adegan yang lokasinya gak asing di mata gue. Adegan itu berlokasi di lapangan tempat gue dan Vincent biasa main. Dan di adegan itu…” suara Helena memarau, air matanya bercucuran bersama dengan eyeliner hitamnya.

Angga memalingkan wajahnya, tubuhnya masih menggigil. “Apa yang muncul di adegan itu, Helena?” tanyanya tanpa memandang perempuan di sampingnya.

Helena tak menjawabnya dengan kata-kata. Hanya isakan yang terdengar.

“Apa yang kamu lihat, Helena?”

Perempuan yang disebut namanya bergeser mendekati Angga. Kemudian, tangannya mencengkeram bahu Angga, mendorong tubuh lelaki itu untuk berhadapan lebih dekat dengannya. Angga menatap kedua mata Helena yang memerah dan berlinang air mata.

“Gak usah pura-pura bodoh, Angga. Lo tahu, kan, apa yang gue lihat?” Helena merogoh saku roknya tanpa mengalihkan fokus dari pandangan Angga. “Jawab pertanyaan gue, Ngga.”

Angga hanya membisu.

“Jawab, Ngga.”

Lelaki itu masih tak bersuara.

“Jawab!”

Angga menelan ludah. “Di- di adegan itu, kamu lihat aku-“

“DIAM!” Helena menghunuskan sebilah pisau ke leher Angga. Terdengar pekikan pelan dari lelaki itu saat bilah senjata itu mengenai kulit lehernya.

“Hel- Helena, apa-apaan si-“

“Gue di sini,” Helena menyeringai. “Untuk membalas kematian pacar gue.”

 

 

#Challenge30HariSAPE_Hari13

PS: Posting ulang chapter 4 di sini, karena semalam web UGM down.

Keterangan:

¹Salah satu jenis es krim di McDonalds yang enak banget.

²Merek kosmetik high-end asal Kanada yang lipstiknya terkenal karena kualitasnya yang bintang lima, meski harganya gak kaki lima.

³Senjata pamungkas Thor, Dewa Petir dalam mitologi Nordik dan Marvel Cinematic Universe.

Helena (Part 3)


So long and goodnight, so long not goodnight!” Sang vokalis menyerukan nada tinggi di akhir lagu. Suaranya fortissimo, begitu keras sampai terdengar di seluruh penjuru sekolah.

Tanpa jeda, band pun membawakan lagu kedua. Masih lagu My Chemical Romance, lagu kali ini berjudul The Ghost Of You. Alunan gitar elektrik dan drum bertempo sedang kembali menyemarakkan suasana pentas.

Di dalam gudang, giliran Angga yang mengalami senam jantung karena jawaban Helena. Setelah berhasil menenangkan dirinya, ia kembali berbicara. “Gue… gue turut berduka cita, ya.”

Helena mengetuk-ketukkan sepatunya seiring dengan ritme lagu. “Gak papa. Kejadiannya semester lalu, kok.”

Sorry, kalau gue boleh tahu…” Angga membetulkan posisi duduknya. “Um… gue pengen tahu soal partner main lo itu. Kenapa lo berhenti gitu aja? Kan lo bisa cari partner lain. Sama temen sekelas lo, misalnya. Yang senang main badminton bukan cuma lo, kan?”

Helena mengepalkan tangannya tanpa terlihat oleh Angga. “Pake logika, dong,” nada suaranya meninggi. “Kalau orang yang paling lo cintai semasa lo hidup di dunia yang kejam ini tiba-tiba meninggal, apa yang lo rasain? Sakit, kan?”

“Eits, jangan baper dulu!” Angga mengangkat telapak tangannya, seolah Helena tengah menodongkan pistol ke arahnya. “Lo nganggep partner main lo lebih dari sekadar teman, ya kan?”

Helena memalingkan tatapan sekilas, lalu menundukkan kepalanya. “Iya,” jawabnya pelan sebelum kuda-kuda kakinya lunglai. Helena pun terduduk di atas meja yang tengah diduduki Angga, kedua tangan menyangga tubuhnya yang ambruk. Ia seolah baru saja berlari maraton sebanyak tujuh putaran di sebuah lapangan sepak bola.

Melihat pertahanan diri Helena yang runtuh, Angga tertegun. Sebenarnya, dia bisa saja melaksanakan tujuan awalnya membawa Helena kemari saat perempuan itu tengah berada di titik terendahnya. Akan tetapi, firasat Angga mendorongnya untuk tetap diam dan tak melakukan apapun terhadap adik kelasnya itu.

“Jadi…” Helena mengedip-kedipkan mata, kemudian menghapus seberkas air mata yang timbul di ujungnya. Sebagian eyeliner hitamnya ikut tersapu, menyisakan noda gelap di punggung tangannya. “Semester lalu, lo inget gak ada anak pertukaran pelajar di sini? Kelas gue yang menampung dia saat itu. Gue kenalan sama dia, kebetulan dia duduk sebangku sama gue. Namanya Vincent. First impression gue, dia itu seperti anaknya bajak laut sama malaikat. Gagah tapi ada sebersit kecantikannya… gimana ya, ngejelasinnya. Sebelas dua belas sama Chris Evans, gitu. Sama-sama pirang dan bermata biru juga. Eh, tapi Evans pirangnya cuma kalo pas dia jadi Captain America.”

Angga terdiam, menyimak penuturan Helena.

“Waktu itu gue nervous, abis gue jarang ketemu spesies cowok yang beginian. Tapi, lama-lama kami bisa akrab walaupun Inggris gue belepotan. Dari pertemuan itu, gue dapat berbagai fun fact tentang Vincent. Pertama, dia berasal dari Denmark. Kedua, dia gak suka lagu-lagu bergenre alternative rock macam MCR. Ketiga, Vincent dan gue sama-sama suka main badminton. Bedanya, gue otodidak, sedangkan dia ikutan klub. Keempat, host family dia satu blok sama rumah gue. Otomatis, kami sering main bareng saat weekend.”

At the end of the world, or the last thing I see, you are never coming home, never coming home…” suara vokalis band sayup-sayup terdengar dari luar gudang. Helena turut melantunkan lirik lagu tersebut dengan suara pelan.

“Terus?” tanya Angga.

Menyadari konsentrasinya terpecah, Helena berhenti menyanyi. “Semuanya baik-baik aja, sampai tiga bulan kemudian.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari11

Helena (Part 2)


Helena melangkah masuk ke gudang, diikuti Angga. Ruangan itu nyaris gelap gulita, hanya warna-warni lampu sorot dari lapangan basket yang menyumbangkan cahayanya melalui ventilasi. Hampir separuh dari ruangan itu diisi oleh berbagai perabotan sekolah, membuat gudang kecil itu menjadi semakin sempit. Helena terbatuk-batuk saat melintasi tumpukan bangku yang sarat dengan debu. Di atasnya, sarang laba-laba membentang dari satu sudut langit-langit ruangan ke atas lemari kayu.

“Sumpek banget,” Helena berdeham sebelum melanjutkan ucapannya. “Lo yakin mau di sini?”

Angga menutup pintu gudang. “Di mana lagi? Toilet?”

“Ya kali, mau terciduk? Gue sih kagak.”

Angga tertawa pelan. “Semua orang lagi di lapangan. Percaya deh, gak ada yang tahu kita ada di sini,” ucapnya sembari mengunci pintu.

Mendengar suara kunci diputar, Helena terkejut. “Ngapain lo kunci, Ngga?”

“Tadi kan lo bilang kita bisa terciduk. Kalau gue kunci, kita aman,” Angga mencabut kunci dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Helena terkesiap. Jantungnya mulai berdebar-debar tak karuan.

Angga melangkah mendekati Helena. Perempuan itu melangkah mundur hingga pinggangnya bertabrakan dengan sebuah meja. Dia menatap Angga nanar. Namun, wajahnya tak menunjukkan ketakutan sedikitpun. Helena tak ingin terlihat lemah di depan laki-laki yang baru saja ditemuinya ini.

Angga berhenti. “Gue tahu kita belum kenal lama, jadi… sebaiknya kita ngobrol aja dulu. Gak usah takut, Helena.”

“Heh, siapa bilang gue takut?” protes Helena sembari menyilangkan kedua tangannya.

“Bukan lo yang bilang begitu,” Angga menepuk bahu jaket Helena yang bergetar. “Tapi badan lo.”

Helena menepis lengan Angga. “Well, gue bukan takut, tapi nervous. Ngerti?”

Angga mengangguk. “Oke, oke. Sekarang… lebih baik kita kenalan lebih lanjut,” ucapnya sembari melangkah ke samping Helena, lalu duduk di atas meja. “Lo sekolah di sini juga, atau cuma ikut nonton pensi?”

“Anak sini,” Helena merapikan helai rambut yang jatuh di depan matanya. “Kelas XI IPS 2. Kalau lo?”

“XII IPA 4. Iya, bentar lagi gue lulus.”

“Udah ada rencana mau lanjut kuliah di mana?”

Angga menggelengkan kepala. “Sejujurnya, gue masih bimbang… antara lanjut kuliah atau nge-band. Hati gue bilang band, tapi orang tua pengen gue kuliah, kalau bisa sampai S2 sekalian.”

“Kok sama, sih… gue juga dituntut begitu sama ortu. Makanya, gue didaftarkan ke sini biar lebih mudah diterima lewat jalur SNMPTN. Kan, katanya SMAN 4 termasuk sekolah favorit.”

“Sama? Lo nge-band juga?”

Helena menghela napas panjang. “Pengennya, sih. Tapi pengetahuan musik gue cuma sebatas pendengar setia. Gue gak bisa main alat musik apa-apa.”

“Sayang banget, padahal main musik itu seru, loh. By the way, hobi lo apa? Selain dengerin musik, maksud gue.”

Helena tertegun sejenak, memandang langit-langit gudang sebelum meneruskan percakapan. “Gue suka main badminton. Tapi, gue udah lama vakum.”

“Kenapa?”

Helena berpaling dan menatap wajah Angga. “Soalnya, partner main gue udah meninggal.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari10

Helena (Part 1)


“Long ago, just like the hearse, you die to get in again, we are so far from you…” Vokalis band berbisik ke mikrofon, sebelum gebukan drum dan musik cadas mengawali pentas seni yang digelar SMAN 4 pada malam itu.

Lapangan basket SMA itu disulap menjadi sebuah venue konser, lengkap dengan panggung megah dan dekorasi. Sesuai dengan tema Back To 2000’s yang diusungnya, band sekolah membawakan lagu berjudul Helena dari My Chemical Romance sebagai pembuka pentas seni tersebut. Para penonton bergoyang dan bersorak mengikuti nyanyian sang vokalis. Beberapa penonton mengabadikan penampilan band sekolah itu dengan ponselnya.

Di barisan terdepan kerumunan, seorang perempuan berambut hitam sebahu berjingkrak-jingrak sambil menyanyikan lirik lagu, mengikuti ritme musik. Tanpa sengaja, perempuan itu menginjak sepatu seorang penonton di belakangnya. Terdengar suara mengaduh.

“Maaf!” Perempuan itu berbalik. Di hadapannya, seorang laki-laki berambut merah menyala mendengus kesal. Namun, raut muka lelaki itu berubah setelah ia menatap perempuan yang menginjak sepatunya.

Eye shadow dan eyeliner hitam mewarnai kelopak mata perempuan itu, sementara gincu berwarna dusty peach menyapu permukaan bibirnya. Dengan jaket kulit hitam, kaus oblong hitam, dan rok merah bermotif kotak-kotak hitam, penampilannya sesuai dengan kode busana emo yang ditetapkan pentas tersebut. Kontras dengan lelaki itu, yang hanya mengecat rambutnya agar berpenampilan menarik. Selebihnya, dia hanya mengandalkan seragam putih abu-abu.

“Wow! Kalau gue yang pakai eye shadow, pasti hasilnya udah kayak rakun.”

Perempuan itu tak dapat menahan tawanya. “Rakun doang bisa bikin ngakak, selera humor gue kok jadi begini amat… you don’t look so bad, though.” Ia tersenyum simpul. “Lo suka MCR?”

“Suka, dong,” laki-laki itu menunjukkan gelang bertuliskan My Chemical Romance di pergelangan tangannya. “Sayang mereka udah bubar sebelum gue sempet lihat mereka manggung. Oh iya, nama lo siapa?”

“Helena. Yap, sama kayak judul lagu yang lagi dimainin.”

“Seriusan? Mungkin lo emang ditakdirin jadi fans MCR!” sahut laki-laki itu mengalahkan keriuhan penonton. “Gue Angga, by the way.”

“Kurang satu huruf dari Rangga AADC, dong,” Helena mengalihkan pandangannya ke arah panggung. Terlihat vokalis sedang berlari untuk mengambil botol air mineral, sementara anggota band lainnya tetap memainkan instrumen masing-masing.

“Mau keluar dari sini, gak?” sahut Angga.

“Apaaa?”

Angga mendekati Helena agar suaranya lebih terdengar. “Mau keluar, gak? Telinga gue sakit kalo kelamaan berdiri dekat speaker!

Helena menatap lelaki yang lebih tinggi 20 sentimeter darinya itu. “Kalau lo mau berduaan, bilang aja dari tadi!”

Angga tertawa. “Oke, oke, you got me. Gudang bawah tangga, gimana?”

Helena tertegun sejenak, tangannya menyentuh dagu. “Boleh, semoga aja pintunya gak kekunci.”

“Lebih bagus lagi, semoga kuncinya ketinggalan di pintu.”

Ketika vokalis menyanyikan bagian chorus, Angga menyeret Helena keluar dari barisan kerumunan. Setelah bebas dari kerumunan, keduanya berlari menuju gudang di bawah tangga yang dimaksud.

Sesampainya di sana, rupanya permohonan Angga terkabul. Petugas kebersihan lupa untuk mencabut kunci dari lubangnya di pintu gudang.

Seulas senyum merekah di bibir Angga. “Kita beruntung hari ini,” dia memutar kunci, lalu membuka pintu gudang dan melangkah mundur. “Perempuan duluan.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari9

© 2024 s y n t h e s i s

Theme by Anders NorenUp ↑