(tw: domestic violence)

“Anjir… gagal lagi!” Seruan itu datang dari bawah pohon beringin tempatku beristirahat.

“Kenapa lo, Ci?” Aku melompat turun untuk menemui rekanku, Poci.

“Gue gagal nakutin anak orang lagi,” Poci menggerutu seraya bersandar pada batang pohon beringin, lalu menghela napas seolah-olah dia makhluk hidup.

“Lo kurang serem kali, Ci. Rumah yang mana, sih?”

“Itu loh,” Poci menarik-narik tangannya untuk menunjuk, namun gagal karena terikat dalam balutan kain kafan kusam. “Blok F, cat kuning, pagar hijau. Susah banget cuy, gue sampe nampakin diri berkali-kali tapi anaknya biasa aja. Pengen pensiun jadi hantu aja dah!”

“Halah… gitu aja udah nyerah. Gimana mau jadi hantu nomor satu se-ASEAN?”

“Lo bisa bilang gitu karena lo udah sering jadi nomor satu! Di-endorse sama film-film, lagi.”

“Ngeles aja bisanya lo. Sini, gue yang samperin aja,” aku mengikat rambut kusutku sebelum terbang menembus langit malam.

Sesampainya di rumah yang dimaksud, aku melayang menembus dinding kamar seorang anak perempuan – kamar anak yang gagal jadi korban ketengilan si Poci. Kemudian, aku bersembunyi di balik lemari pakaian. Dari celah pintunya, aku melihat sang penghuni kamar sedang berbaring di kasurnya, meringkuk di balik selimut. Sementara itu, lampu kamarnya padam. Tidak ada jimat atau penangkal bala sama sekali. Kamar itu juga bersih dari poster-poster selebriti luar negeri yang banyak digandrungi kids zaman now. Tak apa, lagipula aku sendiri tidak membutuhkan medium itu untuk menakuti manusia. Melihat interior kamar tersebut secara keseluruhan, seharusnya ini pekerjaan kelas teri. Aku bingung, di mana susahnya menakuti anak ini?

Aku sedang bersiap untuk mengeluarkan cekikikan khasku ketika gerendel pintu kamar diputar-putar dengan kencang.

“Nadia, buka pintunya!” terdengar sahutan seorang pria dari luar kamar diikuti dengan gedoran pintu bertubi-tubi.

Perempuan yang dipanggil namanya cepat-cepat berguling ke samping kasur dan mencengkeram selimutnya erat-erat. Isak tangis pelan terdengar dari mulutnya, diikuti dengan permohonan lirih kepada Yang Maha Kuasa.

“Buka pintunya atau Ayah dobrak!” seru ayah Nadia menggelegar, diikuti dengan hantaman keras terhadap pintu.

Tangis Nadia semakin menjadi-jadi. Di tengah kebisingan bunyi hantaman pintu, Nadia terus berucap, “Tolong jangan sakiti aku Yah jangan pukul aku jangandorongakutolongaku-”

Pintu kamar terbuka dengan kasar. Seorang pria separuh baya berbadan tegap memasuki kamar. Bau rokok menyeruak memenuhi ruangan. Tangan pria itu meraba-raba dinding, berusaha mencari saklar lampu kamar. Gagal menemukannya, dia meludah dan melangkah mendekati kasur.

“Udah gede masih suka nangis, malu-maluin Ayah saja kamu ini! Mana janjimu, katanya kamu gak mau nangis lagi di depan Ayah?”

Nadia bergerak menjauhi ayahnya. Separuh wajahnya tertutup selimut. Hanya isakan pelan yang terdengar dari mulutnya. Sementara itu, diam-diam aku melesat keluar lemari.

“Karena Nadia nakal lagi hari ini,” ayah Nadia melembutkan nada suaranya. “Kita tidur bareng lagi. Nanti Ayah maafin Nadia kalo Nadia mau tidur sama Ayah.”

“GAK MAU!” Nadia meraung.

“Durhaka, ya, kamu?” Ayah Nadia menarik paksa selimut yang dikenakan putrinya, lalu menjangkau pinggang Nadia dengan tangannya. “Kalau Nadia gak mau tidur di kamar Ayah, lebih baik Ayah yang menidur-”

Tangan dinginku mencengkeram pergelangan tangan pria brengsek itu sebelum ia mampu menyentuh Nadia. “Dia gak sendirian,” ucapku pada ayah Nadia sembari memelototinya.

“Bang-”

“Jangan sakiti dia lagi!” Aku melepas cengkramanku.

Pria itu jatuh pingsan setelah melihatku tanpa berkata apa-apa lagi. Kepalanya membentur tepi kasur saat ia terjatuh ke lantai.

“Siap- siapa di sana?” Nadia menoleh ke kanan-kirinya, lalu meraih selimutnya untuk menghangatkan dirinya yang menggigil.

Aku melayang keluar dari rumah Nadia, tak ingin menakuti anak malang itu lebih traumatis dari yang telah diperbuat oleh ayahnya.

#Challenge30HariSAPE_Hari16