Helena melangkah masuk ke gudang, diikuti Angga. Ruangan itu nyaris gelap gulita, hanya warna-warni lampu sorot dari lapangan basket yang menyumbangkan cahayanya melalui ventilasi. Hampir separuh dari ruangan itu diisi oleh berbagai perabotan sekolah, membuat gudang kecil itu menjadi semakin sempit. Helena terbatuk-batuk saat melintasi tumpukan bangku yang sarat dengan debu. Di atasnya, sarang laba-laba membentang dari satu sudut langit-langit ruangan ke atas lemari kayu.

“Sumpek banget,” Helena berdeham sebelum melanjutkan ucapannya. “Lo yakin mau di sini?”

Angga menutup pintu gudang. “Di mana lagi? Toilet?”

“Ya kali, mau terciduk? Gue sih kagak.”

Angga tertawa pelan. “Semua orang lagi di lapangan. Percaya deh, gak ada yang tahu kita ada di sini,” ucapnya sembari mengunci pintu.

Mendengar suara kunci diputar, Helena terkejut. “Ngapain lo kunci, Ngga?”

“Tadi kan lo bilang kita bisa terciduk. Kalau gue kunci, kita aman,” Angga mencabut kunci dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Helena terkesiap. Jantungnya mulai berdebar-debar tak karuan.

Angga melangkah mendekati Helena. Perempuan itu melangkah mundur hingga pinggangnya bertabrakan dengan sebuah meja. Dia menatap Angga nanar. Namun, wajahnya tak menunjukkan ketakutan sedikitpun. Helena tak ingin terlihat lemah di depan laki-laki yang baru saja ditemuinya ini.

Angga berhenti. “Gue tahu kita belum kenal lama, jadi… sebaiknya kita ngobrol aja dulu. Gak usah takut, Helena.”

“Heh, siapa bilang gue takut?” protes Helena sembari menyilangkan kedua tangannya.

“Bukan lo yang bilang begitu,” Angga menepuk bahu jaket Helena yang bergetar. “Tapi badan lo.”

Helena menepis lengan Angga. “Well, gue bukan takut, tapi nervous. Ngerti?”

Angga mengangguk. “Oke, oke. Sekarang… lebih baik kita kenalan lebih lanjut,” ucapnya sembari melangkah ke samping Helena, lalu duduk di atas meja. “Lo sekolah di sini juga, atau cuma ikut nonton pensi?”

“Anak sini,” Helena merapikan helai rambut yang jatuh di depan matanya. “Kelas XI IPS 2. Kalau lo?”

“XII IPA 4. Iya, bentar lagi gue lulus.”

“Udah ada rencana mau lanjut kuliah di mana?”

Angga menggelengkan kepala. “Sejujurnya, gue masih bimbang… antara lanjut kuliah atau nge-band. Hati gue bilang band, tapi orang tua pengen gue kuliah, kalau bisa sampai S2 sekalian.”

“Kok sama, sih… gue juga dituntut begitu sama ortu. Makanya, gue didaftarkan ke sini biar lebih mudah diterima lewat jalur SNMPTN. Kan, katanya SMAN 4 termasuk sekolah favorit.”

“Sama? Lo nge-band juga?”

Helena menghela napas panjang. “Pengennya, sih. Tapi pengetahuan musik gue cuma sebatas pendengar setia. Gue gak bisa main alat musik apa-apa.”

“Sayang banget, padahal main musik itu seru, loh. By the way, hobi lo apa? Selain dengerin musik, maksud gue.”

Helena tertegun sejenak, memandang langit-langit gudang sebelum meneruskan percakapan. “Gue suka main badminton. Tapi, gue udah lama vakum.”

“Kenapa?”

Helena berpaling dan menatap wajah Angga. “Soalnya, partner main gue udah meninggal.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari10