“Sudah selesai?” Aku bertanya pada temanku yang sedang duduk bersimpuh di sudut musholla, mengatupkan kedua tangannya sembari membisikkan doa.

“Belum… tunggu sebentar, dong,” jawab temanku, nyaris selirih ucapan doanya, sebelum melanjutkan percakapannya dengan Yang Maha Kuasa.

Aku menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya temanku itu berlarut-larut dalam renungannya di sudut musholla. Menyadari kehadiran orang-orang yang ingin salat di barisan ini, aku melangkah mundur dan duduk bersandar pada dinding musholla, menyibukkan diri sendiri dengan mengamati para jamaah yang berlalu lalang melintasi pintu masuk. Mereka hadir dengan gaya berbusana yang beragam, mulai dari kaos oblong dan celana denim hingga baju koko yang terinspirasi dari desain kostum Black Panther. Di bagian musholla yang dipenuhi oleh para perempuan, ada yang berseragam sekolah dan ada yang mengenakan khimar begitu panjang sampai mereka tak memerlukan mukena untuk melaksanakan salat.

Saat aku tengah terdistraksi oleh para jamaah, temanku menepukkan tangan, persis di depan wajahku. “Hei, jangan melamun! Nanti ada yang masuk, loh,” sahutnya.

Aku menepis tangannya. “Ngagetin aja,” ujarku bernada kesal. “Lagian salah kamu juga yang doanya lama banget!” lanjutku sembari bangkit dari tempat duduk.

“Wah wah wah, nyalahin orang berdoa… Memangnya kamu gak mau mendoakan orang tuamu agar selamat di dunia dan akhirat? Setelah segala yang mereka lakukan buat kamu…”

Aku tersentak. Temanku ini memang sok tahu. Apa yang dia ketahui tentang perlakuan orang tua kepadaku? Ingin rasanya aku memberikannya presentasi lengkap dengan beribu-ribu slide Power Point mengenai alasan mengapa aku tidak suka bercerita tentang orang tuaku. Dan mengapa aku enggan berlama-lama berdoa untuk mereka.

Tanpa sadar aku menarik lengan kemejaku, menyembunyikan rona hitam-keunguan dan bekas luka yang menodai pergelangan tanganku.

“Aku sudah berdoa… hanya saja, kelihatannya Tuhan masih enggan membalasnya.”

 

#Challenge30HariSAPE_Hari7