Semburat lembayung menghiasi langit di kala senja, warna-warninya terlihat cantik dari jendela kafe tempatku mengerjakan tugas. Ini pertama kalinya aku mengerjakan tugas individu di luar kos, tepatnya di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari kampusku. Kafe bernuansa vintage ini mulai ramai oleh pengunjung yang hendak berbuka puasa bersama. Menyadari deadline tugas yang semakin dekat, aku berusaha untuk tak menghiraukan keriuhan pengunjung dan fokus pada lembar kerja di laptopku.

Menit demi menit pun berlalu. Tak lama kemudian, aku mendengar azan Magrib berkumandang menandakan waktu berbuka puasa. Aku, yang tengah sibuk mengetikkan beberapa baris kalimat, segera menutup lembar kerja dan meraih secangkir teh hangat yang sedari tadi telah terhidangkan di dekat laptopku. Seusai membaca doa berbuka puasa, aku meneguk teh pelan-pelan, membiarkan manisnya madu dan kehangatan teh hijau membasahi kerongkonganku.

Setelah menghabiskan tiga butir kurma, aku membuka kembali lembar kerja tugasku guna menyelesaikannya. Baru saja mengetik sepatah kata, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik dan mendapati seorang lelaki berbaju putih berdiri di belakangku.

“Mbak, sudah salat Magrib belum?” ucap lelaki itu.

Siapa dia? Kenapa tiba-tiba dia menghampiriku? Oke, mungkin ini peringatan bagiku untuk segera menunaikan kewajiban, tapi tetap aja… aku gak kenal kamu, Mas.

Aku merapikan kerudung, berupaya menyembunyikan ketidaknyamanan. “Belum. Nanti setelah ini selesai,” ucapku sembari menunjuk laptop.

“Magrib waktunya sebentar, loh. Kalau ditunda, nanti Mbak lupa,” jawabnya.

Iya juga ya…

“Oke,” aku beranjak dari kursi. “Di sini ada musholla gak?”

“Wah, sayangnya gak ada, Mbak. Kalau mau salat, Mbak bisa ke musholla di toko baju sebelah.”

Mengingatkan tanpa memfasilitasi, huh. Atau jangan-jangan…

“Mas pencuri, ya?” seruku bernada tajam, dengan tangan menutupi laptop. “Pasti kamu ingin ambil laptop saya ketika saya salat, ya kan?”

Lelaki itu terkesiap. “Demi Allah, bukan itu maksud saya!” sahutnya sembari mengatupkan kedua tangan. “Saya sendiri sepupu manajer kafe ini, saya cuma ingin menjaga barang Mbak ketika salat nanti,” lanjutnya.

Baiklah, kalau dia sudah bersumpah.

“Oke, tapi kalau sampai kamu bohong, saya gak akan segan memposting kejadian ini di media sosial agar banyak yang menghujat tindakan kamu,” ujarku tanpa mengalihkan pandangan dari lelaki itu.

Lelaki itu menganggukkan kepala. “Silakan, Mbak. Saya yakin bukan hujatan yang nanti saya dapatkan.”

Aku meraih tas dan meninggalkan kafe tersebut.

Setelah melaksanakan salat Magrib, aku bergegas meninggalkan musholla toko baju yang terletak beberapa blok dari kafe tadi. Aku mempercepat langkahku, was-was jika sumpah lelaki tersebut hanyalah omong kosong.

Sesampainya di depan kafe, tampak eksteriornya nyaris membuatku pingsan.

Kafe itu kosong. Gelap. Papan nama dan lampu neon yang menghiasinya raib. Seolah telah sekian lama tutup atau pindah lokasi.

Aku berlutut, tak mempercayai apa yang kulihat.

Namun, di tengah kekalutan dan kebingungan, seketika hidungku mencium aroma teh hijau. Aku beranjak bangkit dan melangkah mengikuti sumber aroma tersebut.

Di bawah kusen jendela, tepat di sisi lain tempatku mengerjakan tugas tadi, terdapat laptopku lengkap dengan tetikus dan tasnya.

 

#Challenge30HariSAPE_Hari3